
ULANGAN 10:12-22 – “ALLAH ADALAH POKOK PUJIAN”
Oleh: Pdt. Dr. Djoys Anneke Rantung, S.Th., M.Th., D.Th.

Saudara2 yang terkasih…
Di zaman yang serba cepat dan bising seperti sekarang ini, pujian telah menjadi komoditas yang diperebutkan banyak orang. Di media sosial, kita melihat bagaimana orang berlomba-lomba mengejar pengakuan—melalui foto, video, pencapaian, bahkan kadang lewat pencitraan yang tidak mencerminkan siapa mereka sebenarnya. Popularitas menjadi ukuran nilai diri, dan pujian menjadi mata uang yang diburu banyak kalangan—dari anak-anak, remaja, orang dewasa, hingga pemimpin-pemimpin besar.
Dunia kita hari ini telah menjadi arena besar tempat manusia berlomba-lomba untuk mencari pengakuan. Era digital dan media sosial telah mengubah wajah masyarakat. Kita hidup dalam zaman ketika “likes,” “followers,” dan “views”menjadi ukuran keberhasilan dan nilai diri. Segala sesuatu diukur bukan dari kebenaran, tetapi dari seberapa banyak sorotan yang kita dapatkan dari orang lain. Budaya “pamer” tidak lagi dipandang aneh, bahkan sering kali dirayakan. Manusia modern tidak hanya ingin dihargai, tapi juga ingin dipuja. Tanpa kita sadari, kita telah menciptakan dunia yang menomorsatukan pujian kepada manusia, bukan kepada Tuhan.
Ironisnya, kecenderungan ini tidak hanya terjadi di luar gereja. Di dalam kehidupan umat percaya pun, sering kali kita lebih peduli pada citra daripada karakter, lebih fokus pada penampilan daripada ketulusan, dan lebih tertarik pada pengakuan manusia daripada perkenanan Tuhan. Kita tergoda membangun nama kita sendiri, bahkan dalam pelayanan. Kita bisa begitu mudah menggantikan pusat kehidupan dari Allah menjadi diri sendiri. Secara halus, kita menggeser takhta Tuhan, dan menempatkan ego pribadi di atas segalanya.
Di tengah realitas seperti ini, firman Tuhan dari Ulangan 10:12–22 datang dengan panggilan profetik yang tegas dan penuh kasih.
Ulangan 10:12–22 mengajak kita merenungkan satu pertanyaan penting: Siapakah yang menjadi pokok pujian dalam hidup kita? Apakah kita masih menjadikan Tuhan sebagai pusat penyembahan kita, ataukah kita telah menggantikannya dengan hal-hal lain yang bersifat fana?
Ayat ini dimulai dengan pertanyaan yang sangat dalam dan penting:
“Maka sekarang, hai orang Israel, apakah yang diminta dari padamu oleh TUHAN, Allahmu…” (ay. 12)
Pertanyaan ini adalah pertanyaan retoris yang sangat mendalam secara teologis dan spiritual. Maknanya tidak hanya menyentuh sisi intelektual atau logis, tetapi lebih pada hati, sikap batin, dan relasi umat dengan Allah.
Mari kita gali maknanya:
1. Pertanyaan yang Menyentuh Relasi Perjanjian
Pertanyaan ini muncul setelah Musa mengingatkan umat Israel tentang kesetiaan Allah yang telah membebaskan mereka dari Mesir, memberikan hukum-Nya, dan memelihara mereka. Maka, “apa yang diminta dari padamu…” adalah pertanyaan dalam konteks hubungan perjanjian (covenantal relationship). Allah yang telah lebih dahulu bertindak dalam kasih dan rahmat-Nya, kini bertanya: bagaimana seharusnya umat merespons kasih itu?
Allah tidak menuntut tanpa terlebih dahulu memberi. Pertanyaan ini adalah bentuk kasih yang mengundang tanggapan setia.
2. Pertanyaan yang Menuntun pada Introspeksi
Pertanyaan ini mengajak Israel — dan kita sebagai pembaca — untuk merenung: “Apakah saya sudah hidup sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki? Apakah saya menyadari betapa besar kasih karunia-Nya?”
Ini adalah ajakan untuk pertobatan, perenungan, dan ketaatan. Pertanyaan ini tidak menuduh, tetapi mengundang pada transformasi hati.
3. Pertanyaan yang Menyadarkan tentang Esensi Iman
Pertanyaan ini tidak diikuti oleh daftar tuntutan legalistik yang panjang, melainkan inti dari seluruh hukum Taurat:
“… selain dari takut akan TUHAN, Allahmu, hidup menurut segala jalan yang ditunjukkan-Nya, mengasihi Dia, beribadah kepada TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu.”
Pertanyaan ini menunjukkan bahwa yang Allah kehendaki bukan sekadar ritual, tetapi relasi yang hidup dan total, yakni:
- Takut akan Tuhan (reverensi dan hormat)
- Hidup menurut jalan-Nya (ketaatan)
- Mengasihi Dia (relasi kasih)
- Beribadah dengan segenap hati dan jiwa (penyerahan total)
4. Pertanyaan yang Menggaris bawahi Keunikan Allah
Dalam ayat-ayat berikutnya (ay. 14–22), Musa menjelaskan mengapa Allah layak ditakuti dan dikasihi: karena Dia besar, adil, tidak memandang muka, mengasihi orang asing, dan menunjukkan kasih setia kepada nenek moyang Israel.
Ini adalah penguatan bahwa karakter Allah adalah dasar dari segala tanggapan iman. Dia bukan Allah yang sewenang-wenang, tetapi adil dan penuh kasih.
Dengan demikian, pertanyaan ini bukan semata-mata “tuntutan,” tetapi merupakan:
- Sebuah undangan kasih
- Sebuah pengingat akan kasih karunia
- Sebuah pemanggilan pada hidup yang sejati di hadapan Allah
Allah tidak menuntut kesempurnaan, tetapi kesetiaan. Pertanyaan ini menempatkan kita di hadapan cermin iman: apakah hidup kita sudah menjadi respons yang layak bagi kasih dan kemuliaan Allah?
Pertanyaan itu tidak hanya berlaku untuk Israel zaman dahulu, tetapi juga untuk kita, umat Allah zaman ini. Apa yang Tuhan minta dari kita? Bukan persembahan besar. Bukan pencapaian tinggi. Bukan popularitas. Bukan kesempurnaan lahiriah. Tetapi Tuhan meminta:
- takut akan Dia,
- berjalan dalam jalan-Nya,
- mengasihi-Nya,
- dan beribadah kepada-Nya dengan segenap hati dan segenap jiwa.
Lalu di ayat 21, Musa berkata:
“Dia-lah pokok pujianmu dan Dia-lah Allahmu…”
Kalimat ini bagaikan gema surgawi yang ingin menata ulang orientasi hidup kita. Bahwa pusat hidup kita bukanlah diri sendiri, bukanlah dunia, bukanlah pencapaian, melainkan Allah sendiri. Allah adalah sumber dan tujuan dari segala pujian. Dialah yang menciptakan kita, membebaskan kita, memelihara hidup kita, dan menyertai kita dalam segala musim kehidupan.
Namun, apakah kita masih menempatkan Dia sebagai pokok pujian dalam hidup kita? Ataukah kita lebih sering memuji manusia, memuliakan citra diri, dan meninggikan ambisi pribadi?
Firman hari ini bukan hanya sekadar panggilan untuk memuji Allah dengan bibir, tetapi untuk menjadikan hidup kita sebagai pujian yang hidup. Ini adalah ajakan untuk menilai ulang siapa yang sebenarnya kita puji melalui hidup kita—dalam keluarga kita, dalam relasi sosial kita, dalam pelayanan gerejawi, bahkan dalam dunia kerja dan dunia maya yang kita isi tiap hari.
Di bagian ini, Musa juga menyingkapkan siapa Allah itu:
- Dia adalah Tuhan segala tuhan.
- Dia adil dan membela kaum yang lemah.
- Dia mengasihi orang asing dan memberi mereka pakaian dan makanan.
- Dia memilih umat-Nya bukan karena kehebatan mereka, tapi karena kasih-Nya yang besar.
Sehingga, dalam perenungan saat ini, dapat dijelaskan “MENGAPA ALLAH ADALAH POKOK PUJIAN?”

1. Karena Siapa Dia: Allah yang Mahatinggi dan Tak Terbandingkan (ayat 14–17)
Allah digambarkan sebagai “Allah segala allah” dan “Tuhan segala tuhan”. Ia pemilik langit, bumi, dan seluruh isinya. Artinya, tidak ada satu pun kuasa di langit maupun di bumi yang dapat menandingi-Nya. Namun yang mengejutkan adalah: Allah yang Mahatinggi ini justru memperhatikan yang kecil—yatim, janda, dan orang asing. Ini adalah teologi belas kasih yang mendalam.
2. Karena Kasih-Nya yang Memilih dan Mengikat Perjanjian (ayat 15)
Allah memilih bangsa Israel bukan karena mereka besar atau kuat, melainkan karena kasih karunia-Nya. Ini menyiratkan teologi pemilihan berdasarkan anugerah. Sama seperti kita, orang Kristen hari ini, dipilih bukan karena kebaikan kita, melainkan karena kasih dan rencana Allah.
3. Karena Ia Menghendaki Hidup yang Taat dan Kasih (ayat 12–13)
Allah tidak menuntut korban besar, tetapi ketaatan yang lahir dari hati yang mengasihi. Pujian kepada Allah bukan hanya di bibir, tetapi dalam kehidupan sehari-hari yang memuliakan-Nya.
Saudara-saudara, kita berada dalam “kondisi dunia masa kini dengan segala popularitas dan pemujaan diri”, yakni:
A. Budaya Populer Dan Kebutuhan Akan Validasi Sosial
Hari ini, platform seperti Instagram, TikTok, YouTube, bahkan LinkedIn, menjadi tempat di mana banyak orang berlomba membangun “citra” dan memelihara “reputasi.” Popularitas bukan lagi efek samping dari kerja keras, tetapi menjadi tujuan utama.
Kita melihat fenomena seperti:
- Konten viral dengan isi yang dangkal namun memikat.
- Remaja merasa depresi karena kurang “likes”.
- Pelayanan rohani yang lebih fokus pada panggung dan citra, daripada integritas dan kedalaman.
Dunia mendorong kita untuk berkata: “Aku adalah pusat hidupku.”
Firman Tuhan berkata: “Allah adalah pokok pujianmu.”
B. Pemujaan Diri Dalam Dunia Rohani
Bahaya pemujaan diri tidak hanya terjadi di luar gereja. Di dalam pelayanan pun sering kali ego terselubung:
- Ada Pendeta yang mencari pengikut, bukan membimbing domba.
- Ada Pelayan musik yang lebih suka disorot daripada menyembah.
- Ada Orang tua yang membandingkan anaknya demi kebanggaan sosial, bukan mendidik dalam takut akan Tuhan.
Ini adalah bentuk penyembahan diri yang halus, tapi berbahaya. Sebab pada akhirnya, manusia menjadi allah bagi dirinya sendiri, dan Tuhan disingkirkan dari takhta hidup.
Saudara-saudara, hari ini Firman Tuhan mengajarkan kepada kita, untuk kita buka hati, dengarkan suara Roh Kudus, dan izinkan firman Tuhan dari Ulangan 10:12–22 menuntun kita kembali kepada hidup yang berakar dalam kasih dan kekaguman kepada Allah, yang bukan hanya layak dipuji, tapi harus menjadi pokok pujian dalam segala aspek kehidupan kita. “Dialah pokok pujianmu dan Dialah Allahmu.”
BAGAIMANA KITA MENGIMPLEMENTASIKAN FIRMAN TUHAN INI DALAM KEHIDUPAN KITA?
A. Dalam Keluarga: Menjadikan Tuhan Pusat Rumah Tangga
- Orang tua tidak membesarkan anak untuk menjadi terkenal, tetapi menjadi takut akan Tuhan.
- Suami-istri saling melayani bukan demi pujian publik, tetapi karena Tuhan yang menjadi dasar kasih.
- Keluarga tidak diarahkan untuk mengejar “prestise dunia”, melainkan hidup sederhana dan setia.
128:1 – “Berbahagialah setiap orang yang takut akan TUHAN, yang hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya!”
B. Untuk Kaum Muda: Hidup Tanpa Citra Palsu
- Pemuda Kristen hari ini dipanggil untuk menjadi penyembah, bukan pencitra.
- Menggunakan media sosial bukan untuk mempromosikan ego, tetapi menyatakan kasih Kristus.
- Menolak jalan pintas popularitas yang melibatkan kompromi moral, kebohongan, atau pencitraan.
Roma 12:1 – “Persembahkanlah tubuhmu sebagai persembahan yang hidup…”
C. Dalam Gereja: Pusatkan Segala Kemuliaan kepada Allah
- Pelayanan tidak boleh menjadi tempat membesarkan nama manusia.
- Pujian dan penyembahan harus benar-benar mengarah kepada Allah, bukan pada keindahan penampilan atau kualitas suara semata.
- Pemimpin gereja harus memimpin dengan kerendahan hati, karena Allah-lah yang layak dipuji.
“Saudara-saudara, dunia menawarkan banyak hal untuk dikagumi, disembah, dan dikejar, tetapi hanya Tuhan yang layak menjadi pusat pujian kita.
Maka hari ini, mari kita bertanya bukan apa yang Tuhan bisa lakukan untuk kita, tetapi apa yang Tuhan minta dari hidup kita. Maukah kita berhenti mencari pujian bagi diri sendiri, dan mulai hidup untuk memuliakan Dia yang telah lebih dulu mengasihi kita? Jangan hanya menjadi pendengar firman—jadilah pujian yang hidup. Jadilah keluarga yang memuliakan Tuhan. Jadilah pemuda yang mencerminkan kasih dan keadilan-Nya. Jadilah gereja yang tidak sibuk mencari tepuk tangan dunia, tetapi sibuk membuat surga bersukacita. Sebab Dialah Allah kita—besar, setia, dan penuh kasih. Dialah Pokok Pujian, kini dan selamanya. Amin. TUHAN MEMBERKATI