
ROMA 15:1-13
Pdt. Dr. Djoys Anneke Rantung, M.Th.
Saudara-saudara yang terkasih,
Suatu hari, ada Opa dari kampung Minahasa namanya Opa Jantje — pertama kali diajak jalan-jalan ke Jakarta, diajak cucunya ke mall yang besar sekali.
Waktu mereka jalan keliling, Opa Jantje lihat satu benda aneh: dua pintu besi yang buka-tutup sendiri, dengan lampu kedip-kedip di atasnya.
Opa Jantje berdiri agak jauh, matanya tajam memperhatikan.
Tiba-tiba dia lihat ada seorang oma bule — kulitnya putih mulus, rambut pirang — masuk ke dalam lift.
Pintu tertutup, bunyi: ting!
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka lagi…
Yang keluar ternyata satu keluarga berkulit hitam: bapak, mama, dan anak-anak kecil berambut keriting.
Opa Jantje kaget bukan main!
Dia cepat-cepat panggil cucunya sambil bisik-bisik:
“Eh, cucu… ini torang di kota ada ‘kotak ajaib’ kah? Tadi yang masuk cuma satu oma bule, yang keluar jadi banyak, keluarga negro!”
Cucunya ketawa sampai mau jatuh, tapi Opa Jantje masih berdiri bengong sambil garuk kepala:
“Bagaimana itu? Masuk satu orang, keluar langsung banyak dan warna berubah!”
Saudara-saudara…
Pernahkah kita berpikir:
Mengapa Tuhan menciptakan manusia begitu beragam?
Mengapa Dia tidak menciptakan kita semua dengan warna kulit, bahasa, adat, dan watak yang sama?
Di negeri kita tercinta Indonesia, kemajemukan itu adalah keniscayaan.
Lebih dari 1.300 suku, ratusan bahasa daerah, beragam adat istiadat, agama, dan cara berpikir.
Kemajemukan itu adalah takdir sejarah yang tidak bisa kita tolak — dan justru itulah yang membuat Indonesia indah bak taman bunga: berbeda-beda, tetapi satu taman.
Bahkan di tanah Minahasa pun, kita mengenal banyak kampung, banyak marga, banyak karakter — ada yang keras bagaikan rica, ada yang lembut seperti kelapa muda.
Bukankah dari dulu kita diajar: mapalus — gotong royong — lahir justru karena ada banyak orang berbeda yang rela bekerjasama?
Dan kekayaan budaya, kuliner, kesenian kita — semuanya lahir karena perbedaan, bukan karena keseragaman.
Namun, saudara-saudara, keindahan perbedaan juga membawa potensi bahaya.
Perbedaan yang tidak diikat oleh kasih dan kerendahan hati bisa menjadi sumber luka, konflik, bahkan perpecahan.
Bukan hanya di jalanan, bukan hanya di politik, tetapi juga — sayangnya — dalam gereja, di tengah pelayanan, di dalam keluarga besar rohani kita.
Betapa sering, justru kita yang seharusnya menjadi teladan kasih, jatuh dalam perselisihan:
- karena beda pendapat soal cara pelayanan,
- karena beda selera ibadah,
- bahkan kadang hanya karena beda kursi favorit di gereja.(ada kursi yang favorit…biasa di gereja-gereja yang besar dengan umatnya yang banyak, atau di kampung…dia so tahu itu depe tampa duduk…)
Hari ini, melalui surat Roma 15:1–13, kita diajak kembali kepada panggilan kita sebagai Tubuh Kristus:
“Terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah.”
Perbedaan adalah keniscayaan,
Kesatuan adalah panggilan,
Dan kasih adalah jalan.
Marilah kita renungkan bersama, bagaimana kita dapat menjadikan kemajemukan/perbedaan bukan sebagai jurang pemisah, tetapi sebagai jembatan yang memuliakan Allah.
Bagaimana kita dipanggil untuk belajar bukan hanya sekadar “bersama”, tetapi sungguh-sungguh menerima satu sama lain — supaya dunia melihat Kristus hidup di antara kita.
Surat Roma ditulis Rasul Paulus kepada jemaat di Roma, yang majemuk: terdiri dari dua kelompok besar:
- Jemaat Kristen dari latar belakang Yahudi, yang masih kuat berpegang pada hukum Taurat, tradisi, dan adat istiadat Yahudi.
- Jemaat Kristen dari latar belakang non-Yahudi (kafir), yang tidak memiliki beban tradisi tersebut, sehingga lebih “bebas” dalam cara hidup dan ibadah.
Perbedaan ini sering menimbulkan ketegangan:
- Soal makanan halal/haram
- Hari-hari khusus
- Cara beribadah
- Siapa yang “lebih rohani”: mereka yang taat Taurat atau mereka yang merasa bebas oleh anugerah?
Paulus, dalam pasal 14–15, mengajak kedua kelompok itu supaya tidak saling menghakimi, tetapi saling menerima — sebab Kristus telah menerima mereka semua, baik Yahudi maupun non-Yahudi.
Karena kelompok-kelompok ini selalu berdebat, selalu mempertahankan pendapatnya, dan saling ingin menunjukkan akan kebenaran masing-masing, siapa yang paling rohani, siapa yang paling tahu, dan seterusnya…
Roma 15:1–13 adalah puncak ajaran Paulus tentang kesatuan di tengah perbedaan, sebagai wujud nyata Injil.
Saudara-saudara yang terkasih dalam Kristus,
Dalam kehidupan sehari-hari, kita semua pasti pernah menghadapi perbedaan: entah itu perbedaan pendapat, latar belakang keluarga, adat istiadat, tradisi gereja, atau bahkan cara memahami firman Tuhan. Perbedaan bisa menjadi kekuatan, tetapi juga bisa menjadi sumber konflik, perpecahan, dan luka yang mendalam.
Surat Roma 15:1–13 ini menjadi firman yang amat relevan untuk kita renungkan. Rasul Paulus berbicara kepada jemaat di Roma yang hidup dalam keberagaman: ada orang Yahudi yang taat tradisi, ada juga orang non-Yahudi (bangsa lain) yang lebih bebas dari aturan tradisi Yahudi. Paulus memberikan satu nasihat yang sederhana tetapi sangat dalam: “Terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah.” (Roma 15:7)
MAKNA “TERIMALAH SATU AKAN YANG LAIN”
1. Terima, bukan hanya toleransi pasif
Dalam bahasa aslinya, kata “terimalah” (proslambano) berarti menyambut seseorang dengan hati terbuka, seperti tuan rumah yang mengundang tamu makan di meja yang sama. Ini bukan sekadar “ya sudahlah, dia memang berbeda”, melainkan membuka hati, ruang, dan hidup untuk orang lain.
Kristus telah menerima kita meski kita berdosa, gagal, keras kepala, dan sering jatuh. Penerimaan Kristus tidak bersyarat; bukan karena kita baik, tetapi karena kasih-Nya.
“Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah.” (Roma 15:7)
(Ilustrasi: Bakul Nasi (Bentenan) dan Anyaman)
Dalam budaya Minahasa, ada kerajinan anyaman tradisional, seperti bakul nasi (bentenan).
- Terbuat dari daun lontar atau bambu, dianyam silang-menyilang.
- Kalau hanya satu helai, akan mudah patah.
- Kalau hanya disusun sejajar, tidak akan kuat.
Tapi karena helai-helai berbeda arah saling mengikat, jadilah bakul nasi yang kuat dan berguna.
Makna:
Kita berbeda, tapi kalau mau “saling menjalin” dalam kasih Kristus, kita jadi satu tubuh yang kokoh dan berguna untuk kemuliaan Allah.
Penerimaan terhadap perbedaan adalah suatu kekuatan yang besar dan menjadi bermakna, berdampak baik.
2. Penerimaan memerlukan kerendahan hati
Paulus berkata, “Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan mereka yang tidak kuat, dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri” (Roma 15:1).
Artinya, kita yang merasa lebih rohani atau lebih “benar” pun harus rela merendahkan hati dan menolong, bukan menghina atau menghakimi.
Penerimaan bukan soal siapa yang lebih baik, tetapi soal kerelaan untuk mengasihi.
(Ilustrasi: Lukisan Pelangi oleh Sang Seniman)
Bayangkan seorang pelukis membuat lukisan pelangi.
- Dia tidak hanya pakai warna merah atau biru saja.
- Dia sengaja memakai warna-warni yang berbeda, digoreskan di kanvas sesuai rencananya.
Jika warna-warna itu saling protes:
“Kenapa saya harus berdampingan dengan hijau?!” atau “Kenapa harus ada ungu?” — maka lukisan itu tidak akan jadi.
Tapi karena semua warna rela “ditaruh” sesuai kehendak sang pelukis, terciptalah lukisan pelangi yang indah.
Makna:
Tuhan adalah Pelukis Agung. Kalau kita rela menerima perbedaan, Tuhan akan pakai kita untuk menciptakan “lukisan” yang memuliakan-Nya.
(Ilustrasi : Bebek dan Ayam)
Pernah lihat bebek dan ayam jalan bareng?
- Bebek jalannya “geleng-geleng” ke kiri dan kanan, suaranya wek wek wek.
- Ayam jalannya tegap, kepalanya tengok-tengok sambil kukuruyuk.
Kalau ayam menertawakan bebek: “Kamu jalannya lucu!” atau bebek mengejek ayam: “Kau sok gagah!” — mereka hanya saling merendahkan.
Tapi kalau mereka sadar: meski cara jalannya beda, keduanya sama-sama punya fungsi penting di kandang: bertelur, jadi sumber makanan, dan menjaga serangga pengganggu.
Makna:
Kita juga sering “jalan” berbeda—cara berpikir, cara berdoa, cara memuji Tuhan—tetapi kita sama-sama dipanggil untuk satu tujuan: memuliakan Allah.
MENGAPA KITA MANUSIA SULIT MENERIMA ORANG LAIN?
(Ilustrasi: dalam retret, ditanyakan apa yang tersulit dalam hidup pelayanan… kita sulit… mo lihat depe muka).
Saudara-saudara terkasih,
Tidak ada satu pun dari kita yang hidup sendirian. Sejak awal, Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja” (Kejadian 2:18).
Namun, ironisnya, justru dalam kebersamaan itulah muncul luka, konflik, dan perpecahan. Bahkan dalam gereja, tempat yang seharusnya menjadi teladan kasih, kita sering mendengar dan mengalami sendiri betapa sulitnya menerima orang lain.
Mengapa demikian?
Mengapa di tubuh Kristus – yang seharusnya hidup dalam kesatuan kasih – justru muncul “petals” (perpecahan, perselisihan, gengsi, dan luka)?
Mari kita merenungkan bersama-sama, apa akar persoalannya, apa yang diajarkan Paulus dalam Roma 15:1–13, dan bagaimana kita dapat menghidupi panggilan: “Terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah.”
✨ 1️. Kodrat Dosa: Ego, Kesombongan, dan Mementingkan Diri Sendiri
Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, hati kita condong kepada diri sendiri:
- Ingin diakui
- Ingin dimenangkan pendapatnya
- Ingin merasa lebih hebat atau lebih suci daripada yang lain
Bahkan dalam pelayanan, kita mudah terjebak:
- “Pelayanan saya paling penting.”
- “Cara ibadah saya paling rohani.”
- “Pendapat saya paling sesuai Alkitab.”
Tanpa sadar, kita mengukur orang lain dengan standar kita sendiri.
Inilah dosa yang halus: kesombongan rohani (spiritual pride). Kita merasa lebih benar dan sulit menghargai perbedaan.
Paulus berkata:
“Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan mereka yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri.” (Roma 15:1)
Namun, kenyataannya, kita lebih suka menonjolkan kekuatan kita, daripada merangkul kelemahan orang lain.
✨ 2️. Luka dan Kepahitan Masa Lalu
Banyak perpecahan di gereja dan pelayanan tidak hanya lahir dari perbedaan pendapat, tetapi juga luka yang tidak disembuhkan:
- Pernah dilukai kata-kata tajam
- Pernah disakiti oleh orang lain bahkan oleh teman sepelayanan
- Pernah difitnah atau disalahpahami
Luka itu membuat hati jadi keras. Kita jadi sulit mempercayai orang lain, apalagi menerima mereka. Kita lebih suka menjaga jarak, hidup dalam tembok defensif.
Padahal Kristus memanggil kita bukan untuk “bersama secara fisik saja”, tetapi untuk benar-benar membuka hati.
✨ 3️. Perbedaan Latar Belakang, Karakter, dan Tradisi
Gereja lokal adalah miniatur masyarakat majemuk:
- Ada yang pendiam, ada yang kritis
- Ada yang suka musik tradisional, ada yang suka musik kontemporer
- Ada yang lahir dari keluarga Kristen sejak kecil, ada yang baru percaya
Perbedaan itu wajar dan seharusnya jadi kekuatan. Namun sering, kita sulit mengerti dan sabar dengan mereka yang “tidak seperti kita”.
Akibatnya, kita membuat kelompok-kelompok kecil: “kami yang sevisi”, “kami yang modern”, “kami yang tradisional” — dan mulai memandang rendah yang lain.
Paulus berkata:
“Hendaklah kamu sehati sepikir, sesuai dengan kehendak Kristus Yesus, supaya dengan sehati, sejiwa kamu memuliakan Allah…” (Roma 15:5–6)
Kesatuan bukan berarti harus sama, tetapi berbeda-beda yang diikat oleh kasih Kristus.
✨ 4️. Hilangnya Fokus pada Kristus
Ketika gereja atau pelayanan tidak lagi fokus pada Kristus, kita mulai fokus pada:
- Program
- Jabatan
- Gengsi kelompok
- Kesuksesan pelayanan
Pelayanan menjadi “panggung” untuk menunjukkan kehebatan kita, bukan tempat untuk memuliakan Tuhan.
Padahal, Paulus mengingatkan:
“Terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah.”(Roma 15:7)
Fokusnya adalah kemuliaan Allah, bukan kemuliaan diri sendiri.
MENGAPA KITA HARUS MENERIMA SATU AKAN YANG LAIN?
1. Karena Kristus telah lebih dulu menerima kita
Kristus menerima kita dalam keadaan kita yang berdosa dan tidak layak. Dia tidak menunggu kita sempurna untuk mengasihi kita.
2. Karena kesatuan memuliakan Allah
Ketika gereja hidup rukun meski berbeda, dunia melihat kasih Allah yang nyata. Sebaliknya, perpecahan dan pertengkaran membuat Injil menjadi tidak dipercaya.
3. Karena kita dipanggil menjadi berkat
Kita tidak hanya dipanggil untuk selamat secara pribadi, tetapi juga menjadi terang dan garam di dunia. Kesatuan dan penerimaan menjadi kesaksian nyata.
KUNCI MENERIMA SATU AKAN YANG LAIN
1. Meneladani Kristus
Yesus rela mengosongkan diri-Nya (Filipi 2:6–8) dan menjadi hamba.
2. Hidup dipimpin oleh Roh Kudus
Paulus menutup bagian ini dengan doa:
“Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam iman kamu, supaya oleh kekuatan Roh Kudus kamu berlimpah-limpah dalam pengharapan.” (Roma 15:13)
Penerimaan sejati lahir bukan dari kekuatan kita, tetapi dari Roh Kudus.
3. Ingat tujuan utama: kemuliaan Allah
Penerimaan bukan untuk kebanggaan pribadi, tetapi supaya dunia memuliakan Allah.
IMPLEMENTASI DALAM KEHIDUPAN
Dalam jemaat dan pelayanan
- Tidak saling meremehkan jemaat baru atau yang imannya “lemah”.
- Menghargai orang lain.
- Menjadi teladan dalam perkataan dan tindakan: tidak menggosip, tidak menghakimi.
Dalam masyarakat
Sebagai orang Kristen, kita juga dipanggil untuk menerima dan mengasihi orang-orang di sekitar yang berbeda suku, agama, dan budaya.
Bukan untuk kehilangan iman kita, tetapi menunjukkan kasih Kristus yang melampaui perbedaan.
PENUTUP
Saudara-saudara yang terkasih,
Mari kita bertanya dalam hati:
- Apakah aku sudah sungguh-sungguh menerima saudara seiman yang berbeda pandangan?
- Apakah aku sudah menjadi teladan penerimaan Kristus
Saudara-saudara yang terkasih,
- Betapa mudah bagi kita mengangkat tangan memuji Tuhan, tetapi sering kita sulit membuka hati untuk saudara yang berbeda.
Betapa cepat kita menilai dan menghakimi, tetapi betapa lambat kita mengulurkan tangan menerima. - Namun, ingatlah: Kristus menerima kita bukan karena kita pantas, bukan karena kita layak, tetapi karena kasih-Nya yang tak bersyarat.
Dan kini Ia berbisik lembut namun tegas kepada kita:
“Terimalah satu akan yang lain, sama seperti Aku telah menerima kamu — demi kemuliaan Bapa.” - Ini bukan sekadar pilihan indah, tetapi panggilan kudus.
Dan jika kita menolak atau menunda, ketahuilah: kita sedang mengkhianati doa Kristus bagi kesatuan gereja-Nya; kita sedang membiarkan benih perpecahan bertumbuh; kita sedang menjauhkan hati kita sendiri dari sukacita dan damai sejahtera yang dijanjikan-Nya. - Tetapi jika hari ini kita mau taat — meski sulit, meski butuh pengorbanan — kita sedang membangun jembatan, bukan tembok; kita sedang menjadi wajah Kristus yang hidup di tengah dunia; kita sedang memuliakan Allah bukan hanya dengan bibir, tetapi dengan hati dan tindakan nyata.
- Jangan abaikan panggilan ini.
Sebab kesatuan di tengah perbedaan bukan hanya memperindah gereja, tetapi menjadi kesaksian paling kuat bagi dunia, dan warisan paling berharga yang kita tinggalkan bagi generasi berikutnya.
Kiranya Roh Kudus melembutkan hati kita, agar kita sungguh-sungguh saling menerima — bukan karena kita sama, tetapi karena Kristus sudah lebih dulu menerima kita semua.
Demi kemuliaan Allah, demi sukacita pelayanan kita, dan demi kesaksian Injil yang hidup. 🌿
AMIN….