
Oleh: Dr. Djoys Anneke Rantung, S.Th., M.Th., D.Th.[1]
Latar Belakang Masalah
Kemajuanteknologi dan kemunculan era society 5.0 menjadi tantangan tersendiri, terutama generasi muda sekarang, dihubungkan dengan digitalisasi yang berdampak signifikan dan merubah paradigma kehidupan dalam berbagai sektor, baik dalam pendidikan, kesehatan, ekonomi, perhubungan, komunikasi dan informasi, dan berbagai sekotor lainnya. Dampak digitalisasi ini juga telah mengubah pola hidup dan berperilaku manusia terutama dalam intgritas dan karakter. Kemajuan teknologi ini membawa dampak yang sangat signifikan terhadap mentalitas atau pola pikir dan nilai hidup serta identitas diri manusia, yakni siapa diri manusia sejati.
Secara umum kehidupan di era digital berhadapan dengan tantangan, yakni:
- Krisis eksistensial, yakni manusia mulai bertanya “siapa saya?” di tengah dunia virtual
- Dehumanisasi, yakni relasi menjadi empersonal, manusia dianggap sebagai data.
- Kehilangan makna, yakni kemajuan tidak selalu diiringi oleh kedewasaan moral dan spiritual.
- Individualisme dan relativisme moral, yakni: meningkatnya egosentrisme dan hilangnya nilai absolut.

Tantangan bagi generasi muda terhadap mentalitas dan identitas generasi sekarang, yakni:
- Munculnya identitas palsu, rasa rendah diri, dan ketergantungan terhadap pengakuan digital
- Menurunya daya juang, komitmen, dan resiliensi terhadap tantangan hidup
- Rapuhnya rasa empati, solidaritas, dan ketergantungan terhadap pengakuan digital.
- Disorientasi nilai, nihilisme atau spiritualitas semu.
- Mudah dipengaruhi oleh ideologi ekstrem, konspirasi, atau relativisme kebenaran.
Titik tolak permasalahan ini disebabkan oleh karena:
1. Krisis Identitas di Era digital
- Generasi muda hidup dalam dunia digital yang hiperrealitas (media sosial, avatar, konten digital (sehingga sering mengaburkan identitas mereka.
- Banyak remaja dan pemuda menentukan nilai diri berdasarkan likes, followers, atau validasi online, bukan pada nilai-nilai sejati atau iman.

2. Kecenderungan Instan dan Ketidaksabaran
- Teknologi memberikan segalanya secara cepat dan instan
- Generasi sekarang sering tidak terbiasa dengan proses, disiplin, dan kerja keras jangka panjang.
3. Individualisme dan Krisis Komunitas
- Meskipun terkoneksi secara digital, banyak anak muda mengalami kesepian, isolasi emosional, dan kurangnya relasi bermakna.
- Budaya digital sering membentuk pola pikir “self-centered” dan mengabaikan nilai kebersamaan
4. Ketergantungan Teknologi dan Disorientasi Makna Hidup
- Generasi Society 5.0 hidup dengan AI, robotika, dan big data, tetapi seringkali kehilangan makna eksistensial dan arah hidup.
- Banyak yang bertanya: Apa tujuan saya? Siapa saya dalam dunia yang dikendalikan mesin dan data?
5. Overload Informasi dan Krisis Kebenaran
- Terlalu banyak informasi menyebabkan kebingungan antara fakta dan hoaks.
- Anak muda kesulitan membedakan mana yang benar secara moral, etis, dan spiritual.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka pentingnya pemahaman mendalam tentang era society 5.0, menjadi konteks realita sosial dan pemahaman mendalam tentang teologi dan pengajaran pendidikan agama Kristen yang berlandaskan Alkitab dan nilai-nilai kristiani di dalamnya.
Apa dan Mengapa Era Society 5.0?
Banyak informasi yang memberikan data tentang era society 5.0 yang mana negara Jepang sebagai penggagasnya. Society 5.0 adalah sebuah masyarakat yang menghadapi sebuah masyarakat yang dalam pengembangan dampak era revolusi 4.0, di mana Society 5.0 berfokus pada suatu keseimbangan antara perkembangan teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan, yang mana teknologi buatan atau teknologi cerdas seperti Artificial Intelegence (AI), Internet of Things (IoT), dan Big Data digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara holistik (Pujiono:2021).[2] Jadi, Era society 5.0 merupakan konsep masyarakat masa depan yang mengintegrasikan (AI, IoT, big data, robotika) dengan kehidupan manusia demi menciptakan masyarakat yang berpusat pada manusia (human centered society).
Jepang sebagai penggagas konsep Society 5.0 sebagai respons strategis terhadap tantangan sosial, ekonomi, dan teknologi yang dihadapi negara itu di era modern. Konsep ini pertama kali diperkenalkan dalam The 5th Science and Technology Basic Plan tahun 2016 sebagai strategi nasional untuk meresponi tantangan serius yang dihadapi sekaligus menjadikan Jepang sebagai pelopor masyarakat masa depan yang berpusat pada manusia (Kanda Ruskandi: 2021).[3]
Society 5.0 menjadi tantangan yang serius bagi Jepang sehingga Society 5.0 dirancang untuk memanfaatkan teknologi guna menjawab tantangan secara sistematik. Society 5.0 dirancang untuk mengembangkan teknologi canggih bukan hanya demi ekonomi, tetapi untuk menyelesaikan masalah sosial dan meningkatkan kesejahteraan manusia. Menyadari bahwa masalah yang dihadapi tidak bisa diselesaikan dengan cara konvensional, sehingga diperlukan integrasi teknologi secara menyeluruh untuk mengubah struktur masyarakat. Society ingin menciptakan masyarakat cerdas (smart society), di mana kebutuhan individu bisa dipenuhi secara efisien dan personal. Society 5.0 juga mencakup dimensi etika dan filosofi sosial untuk memastikan teknologi digunakan secara bertanggung jawab dan adil. Society 5.0 bukan hanya untuk Jepang, tapi dirancang sebagai model global yang bisa diadopsi oleh negara lain sebagai model masyarakat masa depan yang berbasis nilai-nilai.
Konsep Society 5.0 berangkat dari filosofi Jepang tentang keharmonisan antara teknologi dan manusia. Teknologi seharusnya tidak menggantikan manusia, tetapi mendukung manusia, meningkatkan kualitas hidup, memungkinkan semua orang berpartisipasi dalam pembangunan tanpa tertinggal, jadi visi masyarakat berpusat pada manusia (human centered society). Teknologi harus melayani manusia bukan sebaliknya, dan harus dapat mengatasi masalah sosial yang kompleks dengan solusi berbasis inovasi. Society 5.0 adalah pergeseran paradigma dari masyarakat informasi (4.0) ke masyarakat yang cerdas dan berpusat pada manusia (5.0), yang tujuan akhirnya adalah menciptakan masyarakat yang berkelanjutan, adil, inklusif, sejahtera dan harmonis secara sosial dan teknologi.
Iman dan Ilmu sebagai Dua Sayap Menuju Kebenaran
Dalam teologi Kristen iman adalah kepercayaan kepada Allah Tritunggal dan penerimaan akan Firman-Nya, terutama melalui Yesus Kristus dan Alkitab. Djoys Anneke Rantung dalam “Pendidikan Agama Kristen di Era Teknologi Digital”, mengatakan bahwa “Iman adalah suatu kepercayaan yang teguh kepada Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, berdasarkan firman Allah dalam Alkitab. Iman ini bukan hanya sekadar percaya secara inteletual, tetapi juga melibatkan penyerahan diri, ketaatan, dan kehidupan yang mencerminkan kasih serta kebenaran Allah.[4]
Iman berpusat pada karya penebusan Yesus di kayu salib dan kebangkitan-Nya (Yoh. 3:16, Roma 10:9). Alkitab, sebagai firman Tuhan, menjadi dasar iman dan pedoman hidup (2 Tim. 3:16-17). Iman yang sejati akan menghasilkan kehidupan yang mencerminkan kasih, keadilan, dan kebaikan, serta membentuk karakter kristiani yang tercermin dalam sikap, perkataan, dan tindakan.[5]
Ilmu (science/knowledge) adalah hasil dari penalaran dan pengamatan manusia terhadap ciptaan Allah, sebuah mandat budaya untuk “mengusahakan dan memelihara” (Kej. 2:5). Ilmu pengetahuan adalah suatu sistem pengetahuan yang diperoleh melalui proses obseravsi, eksperimen, dan Analisa secara sistematis untuk memahami fenomena alam, sosial, dan manusia. Tujuan utama ilmu pengetahuan adalah menemukan kebenaran, menjelaskan fenomena yang terjadi, dan mengembangkan teori atau hukum yang dapat diterapkan secara universal.[6]
Alkitab menunjukkan bahwa Allah sebagai pencipta dan manusia adalah mitra kerja Allah (Kej. 1-2). Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (imago Dei), dan diberi mandat untuk “menguasai dan mengusahakan” hasil ciptaan Allah (Kej. 1:28; 2:15). Dalam terang ini, teknologi adalah buah dari mandat Allah kepada manusia dengan memberikan kemampuan bagi manusia untuk mengembangkan segenap ciptaan Allah dengan tujuan harmonisasi, kesejahteraan dan kebaikan bersama. Sebagaimana yang disampaikan oleh Paulus dalam Kolose 3:23, Segala sesuatu yang kamu lakukan, lakukanlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”
Sinergi iman dan ilmu dalam teologi Kristen tidaklah bertentangan, tetapi saling melengkapi, atau menjadi bagian integral yang saling ketergantungan yang berfondasi pada ketergantungan kepada Tuhan sebagai sumber pengetahuan, Amsal 1: 7, “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan”. Iman memberi arah moral dan makna bagi ilmu. Ilmu memberi alat dan metode untuk menjalankan mandat budaya. Keduanya adalah respons terhadap Allah yang menyatakan diri-Nya secara khusus dalam Firman-Nya dan secara umum dalam alam ciptaan-Nya.
Tantangan era Society dalam terang iman, adalah:
- Adanya krisis identitas dan gambar Allah. Dunia digital dapat menggeser pemahaman manusia tentang jati diri menjadi bergantung pada citra di media sosial (likes dan followers). Padahal identitas Kristen yang sejati bersumber dari relasi dengan Allah (1 Petrus 2:9).
- Terjadinya dehumanisasi dan relasi yang palsu, di mana interaksi maya cenderung mereduksi relasi menjadi transaksional, bukan relasional. Padahal Alkitab menekankan pentingnya komunitas sejati dan kasih antar sesame (Yohanes 13:34-35).
- Adanya kecanduan teknologi dan berhala baru, di mana ketergantungan pada teknologi berlebihan dapat menggantikan ketergantungan pada Tuhan (Roma 1:25).
- Terjadinya ketimpangan sosial dan ketidakadilan digital, di mana teologi keadilan menuntut gereja untuk memperjuangkan inklusivitas dan kesetaraan digital (Mikha 6:8).
Menjawab tantangan mentalitas di era Society 5.0 dalam pandangan teologi kristiani, adalah:
- Menghidupkan mentalitas Pelayan yang Melayani (Servant mentality)
Era 5.0 menuntut manusia berorientasi pada solusi untuk sesama, dengan semangat pelayanan (Yoh. 13:14-17) dan pengorbanan diri, yang bisa menyeimbangkan dorongan teknologi yang cenderung kompetetif dan egoistik.
- Memiliki identitas sebagai Citra Allah (Imago Dei)
Manusia bukan sekadar pengguna teknologi, tetapi merupakan gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26-27), yang memiliki martabat dan tujuan hidup. Memiliki identitas Kristen dalam Kristus (2 Kor. 5:17), bukan oleh algoritma atau validasi sosial.
Identitas sejati dalam.
- Menyeimbangkan antara identitas individual dan komunal.
Ilmu dapat memberikan dorongan inovasi personal, tetapi iman mengingatkan akan panggilan komunitas (Gal. 6:2). Gereja menjadi ruang untuk membangun identitas sejati dalam relasi yang sehat dan membangun.
Penanaman Nilai-nilai sebagai bagian Integral Iman dan Teknologi bagi generasi muda
Dengan memahami Society 5.0, generasi muda bisa menjadi penelola dan pengguna teknologi secara bijaksana, bukan hanya menjadi korban atau budak teknologi. Generasi muda memiliki mentalitas berbasis nilai dan iman, yakni memiliki fondasi nilai yang kokoh dengan iman, integritas, kasih, dan tanggung jawab. Tanpa teknologi justru mempercepat kerusakan moral dan sosial.
Generasi muda harus dapat menemukan identitas sejati di tengah dunia digital, dengan pemahaman Society 5.0 dapat menjadi pintu masuk untuk Kembali pada pertanyaan eksistensial dan spiritual, yakni “Siapa saya? Untuk apa saya hidup?”. Hal ini akan berdampak bahwa generasi sekarang adalah pemimpin masa depan. Pemimpin yang dapat menyeimbangkan teknologi dan kemanusiaan.
Menjadi generasi muda yang beriman dan berkarakter serta bijaksana dalam menggunakan teknologi digital dengan hikmat Allah. Teknologi AI, media sosial, dan IoT digunakan untuk membangun bukan menghancurkan. Nilai-nilai iman kristiani menjadi kompas atau penunjuk arah bagaimana berinterkasi dengan teknologi digital.
Penutup
Era Society 5.0 menuntut gereja dan dunia pendidikan Kristen untuk hadir sebagai terang atau pelita di tengah zaman yang semakin kompleks. Sinergi iman dan ilmu bukanlah pertentangan, tetapi sebuah panggilan untuk menggunakan akal budi dan teknologi dalam terang Firman Tuhan. Pendidikan Agama Kristen harus menjadi garda terdepan dalam membimbing generasi digital agar tetap berakar dalam Kristus dan membawa dampak positif bagi masyarakat.
Penanaman nilai-nilai iman dalam era Society 5.0 adalah kunci untuk membentuk generasi muda yang beriman, berkarakter, dan bijak dalam teknologi. Mereka tidak hanya akan mampu bersaing di dunia digital, tetapi juga menjadi terang dan garam di dunia maya.
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembahatuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah.” (Roma 12:2)
[1] Diberikan dalam Seminar Nasional Institut Agama Kristen Negeri Kupang, pada tanggal 28 Mei 2025
[2] Andrias Pujiono, Profesionalitas Guru PAK di Era Society 5.0, Jurnal Skenoo1, no.2 (2021): 70-89
[3] Kanda Ruskandi, et al., Tranformasi Arah Tujuan Pendidikan di Era Societ 5.0 (Sumedang: Caraka Khatulistiwa, 2021). 38.
[4] Djoys Anneke Rantung, Pendidikan Agama Kristen di Era Digital: Tantangan dan Peluang (Yogyakarta: Andi Offset, 2025), 126.
[5] Djoys Anneke Rantung.
[6] Djoys Anneke Rantung, 30.