
Pdt. Dr. Djoys Anneke Rantung, S.Th., M.Th., D.Th.
Oleh: Pdt. Dr. Djoys Anneke Rantung, S.Th., M.Th., D.Th.
1. Latar belakang Masalah
Dalam konteks pendidikan dan kehidupan modern, terdapat berbagai tantangan yang membuat penguatan karakter Kristen menjadi semakin penting dalam Pendidikan Agama Kristen. Masalah-masalah urgen yang berhubungan dengan karakter yang menjadi fenomenologi terutama di era digital ini, adanya degradasi atau krisis moral dan etika dalam masyarakat, tantangan di era digital dan teknologi, adanya pengaruh relativisme dan sekularisme, tantangan pluralisme dan tantangan hidup dalam masyarakat multicultural, krisis kepemimpinan yang berkarakter. Karakter seseorang dalam pola perilaku atau tingkah lakunya sangat berdampak dalam kehidupan baik individu, kelompok dan bangsa.
Masalah dalam dalam karakter sehingga menurunnya atau degradasi moral dan etika dalam masyarakat, yakni:
- Menurunnya kejujuran dan integritas, adanya kasus korupsi, penipuan, dan manipulasi yang menunjukkan bahwa nilai-nilai etika semakin luntur.
- Hedonisme dan materialisme, kecenderungan mengejar kesenangan semata, dan mengejar kekayaan secara instan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kristiani.
- Kurangnya kepedulian sosial, adanya sikap individualisme dan banyak orang yang kurang peduli terhadap sesame, terutama kaum marginalisasi yakni kaum lemah dan terpinggirkan.
Masalah dalam karakter dalam menghadapi tantangan era digital dan teknologi yang berdampak negatif adalah:
- Penyalahgunaan teknologi dan media sosial, yakni maraknya penyebaran hoaks, cyberbullying, kecanduan gadget, serta budaya cancel culture “suatu fenomena sosial di mana seseorang dihukum secara sosial, baik dengan boikot, kritik besar-besaran, atau pengucilan, karena dianggap melakukan kesalahan, melanggar norma sosial, atau mengungkapkan pandangan yang kontroversial. Praktik ini biasanya terjadi di media sosial dan seringkali berhubungan dengan isu-isu seperti rasisme, seksisme, atau ketidakadilan sosial.
- Kemerosotan nilai keluarga, dimana hampir semua anggota keluarga lebih banyak menghabiskan waktu di dunia digital daripada membangun hubungan keluarga dan komunitas gereja.
- Pornografi dan seks bebas, mengakses konten-konten yang tidak bermoral yang menjadi pemicu rusaknya karakter dan nilai kesucian hidup.
Masalah karakter dalam menghadapi pengaruh relativisme dan sekularisme, adalah:
- Pergeseran nilai-nilai absolut, pandangan bahwa tidak ada kebenaran mutlak menyebabkan banyak orang mengabaikan standart moral alkitab. Banyak orang menganggap bahwa alkitab hanya sebagai “salah satu pilihan moral” bukan sebagai kebenaran ilahi yang harus diikuti.
- Krisis identitas rohani, banyak anak muda yang kehilangan arah iman karena terpapar ideologi sekular yang menolak ajaran Kristen.
- Minimnya pemahaman iman yang mendalam, di mana banyak orang Kristen yang memiliki iman yang dangkal, sehingga mudah terpengaruh oleh ajaran-ajaran lain.
Masalah karakter dalam menghadapi pluralism dan tantangan hidup di masyarakat multikultural, yakni:
- Intoleransi dan konflik agama, kurangnya pemahaman terhadap keberagaman sehingga berdampak pada meningkatnya ketegangan antaragama.
- Radikalisme dan ekstremisme, adanya kelompok-kelompok tertentu yang menggunakan agama sebagai alat pemecah belah dalam masyarakat.
- Kurangnya sikap dialog dan toleransi yang berdampak pada konflik karena perbedaan dan kepentingan.
Masalah krisis kepemimpinan yang berkarakter, adalah:
- Pemimpin yang tidak berintegritas, banyak pemimpin, termasuk yang berlatar belakang Kristen, yang gagal menunjukkan karakter kristiani dalam kepemimpinan mereka.
- Kurangnya pemimpin muda Kristen yang siap berkontribusi, banyak anak muda yang kurang memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat dalam gereja dan masyarakat.
Berbagai masalah dan tantangan di atas menunjukkan bahwa penguatan karakter Kristen dalam Pendidikan Agama Kristen bukan hanya sekedar pilihan, tetapi suatu kebutuhan mendesak. Penguatan karakter Kristen dalam Pendidikan Agama Kristen akan membekali generasi muda agar mampu menghadapi tantangan zaman dengan iman yang teguh dan menjadi terang di tengah dunia (band. Matius 5:16).
2. PEMAHAMAN TENTANG KARAKTER
“Karakter” dalam bahasa Inggris “Character” dalam bahasa Latin berarti “engraved/terukir”. Mark Rutland[1]“A life, like a block of granite carved upon with care or hacked at with reckless disregard, will, at te end, be either a masterpiece or married rubble. Character, the composite of virtues and values etched in that living stone, will define its true worth. No costemic enhancement, no decorative drapery can make useless stone into enduring art. Only character can do that”. Kehidupan adalah seperti balok granit yang diukir dengan hati-hati atau dipahat dengan ceroboh, hasil akhirnya akan menjadi sebuah mahakarya atau menjadi puing-puing yang rusak. Karakter adalah gabungan dari kebajikan dan nilai-nilai yang terukir pada batu hidup itu, akan menentukan nilai yang sebenarnya. Tidak ada peningkatan atau penebalan kosmetik, tidak ada hiasan dekoratif yang dapat mengubah batu yang tidak berguna menjadi seni yang abadi. Hanya karakter yang dapat melakukan itu. Apa yang kita ukir atau biarkan terukir pada diri kita adalah apa yang kita lakukan, baik dalam bakat, kecerdasan dan daya tarik itu terbukti akan menyatakan pola dan tingkah laku seseorang.
Karakter adalah sesuatu yang menjadi vital dalam kehidupan manusia, dan kebajikan (virtue) atau keutamaan adalah kekuatan dari karakter itu sendiri, dalam mana karakter ada kekuatan dalam kebajikan dan ada kebajikan dalam kekuatan. Menurut Mark Rutland ada sembilan hal yang sangat essensial yang dibutuhkan dalam sifat dan nilai karakter:[2]
- Courage (Keberanian: Karakter dalam menghadapi krisis)
- Loyality (Kesetiaan: Karakter dalam Komunitas)
- Diligence (Ketekunan: Karakter dalam Tindakan)
- Modesty (Kesederhanaan: Karakter yang sederhana)
- Frugality (Hemat: Karakter untuk Kemakmuran)
- Honesty (Kejujuran: Karakter untuk Kebenaran)
- Meekness (Kelemahlembutan: Karakter untuk Kekuatan)
- Reverence (Penghormatan: Karakter untuk Hal-Hal yang Sakral)
- Gratitude (Rasa syukur: Karakter dalam Perayaan)
Sejalan dengan pandangan Alkitab bahwa karater seseorang dapat dilihat dari buah-buah roh, di mana karakter atau sifat yang dihasilkan seseorang yang hidup dan dipimpin oleh Roh Kudus, akan menghasilkan kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri (Galatia 5:22-23).
Dari setiap buah-buah roh memberikan makna mulai dari kasih (agape), yakni kasih tanpa syarat yang berasal dari Allah dan mencerminkan kasih kepada sesame (band. 1 Korintus 13:4-7). Sukacita (chara) adalah suatu kebahagiaan sejati yang berasal dari hubungan dengan Allah, bukan dari situasi duniawi (band. Filipi 4:4). Damai sejahtera (Eirene), adalah suatu keadaan hati yang tenang karena percaya kepada Tuhan, bukan sekadar bebas dari masalah (Yohanes 14:27). Kesabaran (makrothumia), adalah kemampuan untuk tetap bertahan dan tidak mudah marah dalam menghadapi tantangan (Yakobus 1:3-4). Kemurahan (chrestotes) suatu sifat lembut hati dan kebaikan yang nyata dalam tindakan kepada orang lain (Efesus 4:32). Kebaikan (Pistis) adalah keteguhan dalam iman dan kepercayaan kepada Allah serta dapat diandalkan dalam komitmen (Matius 11:29). Yang terakhir dalam buah roh adalah penguasaan diri (enkrateia) merupakan suatu kemampuan mengendalikan diri dari dosa, hawa nafsu, dan emosi yang merusak (2 Timotius 1:7.
Karakter adalah suatu kekuatan moral batiniah yang menjadi jati diri seseorang bahkan berdampak besar bagi suatu bangsa. Karakter yang kuat akan menghasilkan segala sesuatu yang ada untuk dicintai, dikagumi dan haruslah diajarkan dari generasi ke generasi. Karena jika karakter seseorang tidak terbentuk sebagaimana hal yang essensial yang dibutuhkan dalam sifat dan nilai karakter tidak dimiliki seseorang, maka kekuatan moral batiniah suatu bangsa akan berdampak pada penurunan nilai-nilai moral yang essensial, berbagai dampak negative dapat terjadi dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Hal ini dapat berdampak dalam dalam:
1. Kehidupan Individu
- Hilangnya Integritas, yakni individu cenderung bersikap tidak jujur, manipulative, dan tidak dapat dipercaya.
- Kurangnya Tanggung Jawab, yakni orang tidak lagi peduli dengan akibat dari tindakan mereka terhadap orang lain.
- Kemerosotan Etika Kerja, yakni orang menjadi malas, tidak disiplin, dan mencari jalan pintas menjadi kebiasaan dalam hidup.
- Kehidupan sosial yang buruk, yakni sulit membangun hubungan yang sehat karena egoism dan ketidakjujuran.
- Hilangnya makna hidup, yakni seseorang bisa kehilangan arah dan terjerumus ke dalam gaya hidup yang hedonis atau destruktif, hal ini dapat menjadikan seseorang memiliki moralitas yang buruk.
2. Kehidupan Masyarakat:
- Meningkatnya Korupsi dan Ketidakadilan, ketika orang lebih mementingkan kepentingan diri sendiri, maka praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan semakin marak terjadi dalam kehidupan masyarakat.
- Meningkatnya Kejahatan, moralitas yang yang rendah seringkali berujung pada peningkatan tindakan criminal, seperti pencurian, penipuan, dan kekerasan.
- Erosi Kepercayaan, mayarakat menjadi saling curiga dan sulit membangun hubungan yang sehat karena tidak ada rasa percaya satu sama lain.
- Kerusakan Lingkungan, Tanpa nilai-nilai moral orang lebih mudah mengeksploitasi alam tanpa memperhatikan dampaknya bagi generasi mendatang.
- Konflik Sosial, toleransi dan empati berkurang, sehingga memicu ketegangan antar kelompok atau komunitas.
3. Dunia Pendidikan dan Teknologi
- Pendidikan Kehilangan Esensi Moral, focus hanya pada prestasi akademik dan keterampilan tanpa menanamkan nilai-nilai luhur.
- Penyalahgunaan Teknologi, kemajuan teknologi bila tidak diimbangi dengan kebijaksanaan akan berdampak pada munculnya berbagai hoaks, ujaran kebencian, cyberbullying, penipuan, kejahatan seksual online, penyalahgunaan data pribadi/perusahaan/lembaga, plagiasi, dst.
Dampak dari penurunan karakter dan moralitas dapat mengancam tatanan sosial, memperburuk kualitas hidup individu, dan menyebabkan krisis dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu pendidikan karakter, terutama dalam konteks iman dan nilai-nilai agama dalam pendidikan terutama Pendidikan Agama Kristen sangat penting untuk mempertahankan kekuatan dan nilai-nilai karakter yang essensial dalam keberanian, kesetiaan, ketekunan, kesedehanaan, hemat atau selalu merasa cukup, kejujuran, kelemahlembutan, penghormatan dan rasa syukur sebagai identitas kristiani.
3. PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN SEBAGAI BENTUK PENGUATAN KARAKTER
Dalam konteks Indonesia, pendidikan dan agama saling berkaitan. Dalam Undang-undang Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20, tahun 2003 menyebutkan hubungan tersebut:[3]
- Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasasan, ahklak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara (Pasal 1:1).
- Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potesni peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahas Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3).
- Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (Pasal 4:3); Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan dan mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam proses pembelajaran (Pasal 4:4).
Tiga pasal pada UU Sisdiknas tersebut menegaskan bahwa pendidikan dan agama memiliki hubungan yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan, yakni “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasasan, ahklak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak yang bermartabat…..”.
Hal ini mencerminkan bahwa proses pendidikan membentuk individu yang berakhklak dan bermoral mulia yakni memiliki virtue dan value atau kekuatan dan nilai-nilai karakter mulia. Jadi, tujuan pendidikan itu untuk menjadikan peserta didik “…memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhklak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Tujuan pendidikan ini juga sejalan dengan rumusan empat pilar pendidikan UNESCO: (1) learning to Know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk terampil melakukan sesuatu), (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).[4] Pemaknaan tujuan pendidikan nasional dan rumusan empat pilar pendidikan menurut UNESCO, adalah juga perwujudan dari hakikat Pendidikan Agama Kristen.
Hakikat Pendidikan Agama Kristen adalah suatu usaha sadar, sistematis, berkesinambungan dalam dimensi religious manusia untuk mewariskan, mendapatkan dan memungkinkan pertumbuhan dari kepercayaan, nilai-nilai, sikap kristiani, serta perilaku kristiani atau karakter kristiani dengan cara bagaimana mengasihi Allah melalui kasih kepada sesama dan ciptaan Allah lainnya. Proses untuk mendapatkan dan menumbuhkan nilai-nilai, sikap serta perilaku serta perubahan sikap untuk seseorang menjadi dewasa dan memiliki jiwa yang berakhklak dan bermoral mulia atau memiliki karakter yang baik, maka itu dilakukan melalui upaya pengajaran dan pelatihan berdasarkan ajaran Kristen sesuai dengan kebenaran alkitab dalam Pendidikan Agama Kristen. Tujuan Pendidikan Agama Kristen bukan sekedar menjadikan tema “Kerajaan Allah hanya sebagai slogan”, melainkan membimbing setiap orang yakni para nara didik dalam segala usia mulai dari anak-anak sampai lanjut usia baik laki-laki maupun perempuan untuk hidup dalam Kerajaan Allah dalam kekinian bersama yang lain, dalam setiap era yang berubah juga era digitalisasi sekarang ini.
Sebagaimana empat pilar pendidikan menurut UNESCO yang juga termaktub dalam Pendidikan Agama Kristen, dalam pilar pertama, “learning to know” bukan semata mengetahui sebanyak-banyaknya materi dari mata pelajaran atau disiplin ilmu, tetapi suatu penguasaan instrument pengetahuan, atau bagaimana mencapai tujuan pengetahuan itu. Pengetahuan dapat diakses tanpa batas melalui berbagai media, sehingga pendidikan seharusnya mendorong rasa ingin tahu secara intelektual (intellectual curiosity; learning to learn is as important as asquiring particular item of knowledge). Pendidikan Agama Kristen haruslah diarahkan pada peningkatan yaitu pengetahuan akan Allah dan segala yang difirmankan-Nya, pengetahuan akan sesama, diri sendiri maupun lingkungan alam yang saling ketergantungan, di mana semuanya harus terjaga agar tetap harmoni atau hidup berdampingan dalam damai sesuai kehendak-Nya.
Pilar Kedua, “learning to do”, hal ini selalu menjadi perhatian dalam pendidikan formal dan non-formal, yakni adanya “life skills” yang mencakup komunikasi, kerja team, pemecahan masalah, mengelola konflik sebagai keterampilan manual dan intelektual. Selanjutnya, learning to do juga dapat dijabarkan dalam dimensi “melakukan apa yang menjadi kewajiban” yang harus dilakukan, yakni membangun karakter (knowing the good, loving the good and doing the good). Pendidikan Agama Kristen harus diarahkan agar nara didik memiliki keterampilan dalam mempraktekkan imannya, tetapi juga melakukan kewajiban dalam membangun karakter yakni mempraktekkan kebaikan dalam pengetahuan dan melakukan cinta kasih kepada orang lain dan dunia secara global.
Pilar Ketiga, “learning to be”, peserta didikdiarahkan untuk memiliki jati dirinya dan mampu menyatakan keberadaan dirinya dalam hidupnya sehari-hari. Demikian juga dalam Pendidikan Agama Kristen mengarahkan karakter nara didik yang mandiri dan bertanggung jawab serta tidak mudah terperdaya dalam imannya, artinya memiliki iman yang kokoh dan teguh dalam Tuhan tanpa mengabaikan keberadaannya bersama orang lain dan dunia sekitarnya.
Pilar Keempat, “learning to live together”, adalah belajar untukhidup berdampingan bersama dengan orang lain. Tugas Pendidikan Agama Kristen adalah mengarahkan nara didik untuk memiliki jati dirinya dan mampu menyatakan keberadaan dirinya dalam hidupnya sehari-hari dalam berbagai realitas kehidupan yang berbeda dalam agama, multi etnis, ras, suku, bangsa, dlsb. Memiliki karakter yang mampu hidup berdampingan, atau memiliki kemampuan menjalani kehidupan bersama dengan damai dalam berbagai perbedaan.
Bagaimana pendidikan agama Kristen dapat membentuk karakter dalam menghadapi tantangan terutama di era digital ini, terutama masalah yang terkait dengan degradasi atau krisis moral dan etika dalam masyarakat, tantangan di era digital dan teknologi, adanya pengaruh relativisme dan sekularisme, tantangan pluralisme dan tantangan hidup dalam masyarakat multikultural serta krisis kepemimpinan yang berkarakter.
Pendidikan Agama Kristen memiliki peran strategis dalam membentuk karakter yang kokoh bagi individu, terutama dalam menghadapi berbagai tantangan di era digital ini. Peran PAK dalam membentuk karakter yang berlandaskan iman, kebenaran, dan kasih, sehingga individu mampu menghadapi berbagai tantangan zaman ini.
Peran strategis PAK dalam membentuk karakter dalam menghadapi tantangan-tantangan utama:
1. PAK dalam mengatasi degradasi moral dan etika dalam masyarakat
- Menanamkan nilai-nilai kristiani, PAK mengajarkan standar moral berdasarkan alkitab, seperti kejujuran (Amsal 11:3), kesetiaan (Lukas 16:10), dan kasih (1 Kor. 13:4-7).
- Mendidik karakter yang berintegritas, pendidikan karakter dalam PAK membentuk manusia yang bertanggungjawab dan menjunjung tinggi nilai-nilaietis dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
- Membentuk kesadaran diri dan tanggung jawab sosial, PAK mengajarkan bahwa setiap individu adalah gambar Allah (Kej. 1:27) dan dipanggil untuk hidup dalam kebenaran.
2. PAK dalam menghadapi tantangan di era digital dan teknologi
- Membentuk kesadaran digital yang bertanggung jawab, PAK mengajarkan teknologi harus digunakan untuk kemuliaan Tuhan (Kol. 3:17), bukan untuk hal-hal negatif.
- Menanamkan etika digital Kristen, PAK menanamkan prinsip berkomunikasi dan menggunakan teknologi untuk tujuan kasih dan kebenaran, serta menggunakan media secara bijak.
- Mengajarkan disiplin dan manajemen waktu, menghindarkan siswa dari kecanduan digital dengan menerapkan pola hidup yang seimbang (Pengkhotbah 3:1).
3. PAK dalam menanggulangi Pengaruh Relativisme dan Sekularisme:
- Menegaskan Otoritas Alkitab, PAK mengajarkan bahwa Firman Tuhan adalah standart moral yang tidak berubah (2 Tim 3: 16-17).
- Membantu siswa mengembangkan pemikiran kritis, PAK mengajarkan apologetika Kristen agar mereka dapat mempertahankan iman dalam dunia.
- membangun iman yang kokoh, PAK mendorong siswa untuk menghidupi iman secara konsisten, bukan hanya dalam lingkungangereja tetapi juga di dunia sekuler.
4. PAK dalam menjawab tantangan pluralisme dan hidup di masyarakat multikultural
- Mengajarkan toleransi dalam kasih, menghormati keberagaman tanpa mengorbankan iman (Roma 12:18)
- Meneladani hidup Yesus yang inklusif, Yesus menunjukkan kasih kepada semua orang, termasuk mereka yang berbeda keyakinan (Yohanes 4:7-10).
- Mendorong dialog antarbudaya, pendidikan Kristen membantu siswa memahami dan berinteraksi dengan komunitas yang berbeda secara damai dan penuh hikmat.
- Pendidikan moderasi beragama dalam pendidikan agama Kristen mengajarkan siswa sikap hidup yang moderat dalam sikap dan cara beragama yang menghindari ekstremisme, baik dalam bentuk fanatisme yang berlebihan maupun sikap yang terlalu longgar terhadap nilai-nilai agama. Mendorong siswa adanya keseimbangan dalam memahami, mengamalkan, dan menjalankan ajaran agama dengan tetap menghormati keberagaman dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.
5. PAK mengatasi krisis kepemimpinan yang berkarakter
- Membangun karakter kepemimpinan kristiani, pemimpin Kristen harus memiliki hati sebagai hamba seperti Kristus (Markus 10:45).
- Mengajarkan etika kepemimpinan yang berlandaskan alkitab, pemimpin harus bertindak adil, penuh kasih, dan rendah hati (Mikha 6:8).
- Mendorong kepemimpinan yang melayani, Pak membentuk pemimpin yang tidak hanya berkuasa, tetapi juga peduli terhadap orang lain dan membawa transformasi bagi masyarakat.
Dengan demikian PAK bukan hanya sekadar mata pelajaran di sekolah, tetapi juga alat transformasi karakter yang membekali individu dengan iman, nilai, dan integritas dalam menghadapi tantangan terutama di era digital ini. Penguatan karakter Kristen dalam PAK harus diarahkan untuk membentuk individu dalam keberanian, kesetiaan, ketekunan, kesederhanaan, hemat, kejujuran, kelemahlembutan, penghormatan dan rasa syukur.
4. PENUTUP/KESIMPULAN
Pendidikan Agama Kristen (PAK) memiliki peran penting dalam membentuk karakter Kristen yang kuat di tengah tantangan zaman. Penguatan karakter Kristen dalam PAK dapat dilakukan melalui:
- Penanaman nilai-nilai alkitabiah dengan mengajarkan buah-buah roh
- Pembentukan iman yang kokoh
- Pendidikan etika digital
- Membangun kesadaran sosial dan toleransi dan Pendidikan moderasi beragama
- Meneladani kepemimpinan kristus
Penguatan karakter Kristen dalam PAK bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga tentang transformasi hidup yang mencerminkan Kristus dalam perilaku, keputusan, dan cara berelasi dengan sesama.
Note :
Artikel ini diberikan pada Seminar Nasional Prodi Magister Pendidikan Agama Kristen Rabu, 12 Febuari 2025
Catatan kaki :
- Mark Rutland, Character Matters (Florida/USA: Charisma House a Strang Company,2003), 10.
- Mark Rutland, Character Matters, 9.
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dokumen dan Salinan Undang-undang No. 20 Tahun 2003.
- Zhou Nan-Zhao , Four ‘Pillars of Learning’ for the Reorientation and Reorganization of Curriculum: Reflections and Discussions”, http://www.ibe.unesco.org/fileadmin/user_upload/archive/cops/Competencies/PillarsLearningZhou.pdf, akses 11 Febuari 2025.