
Oleh: Pdt. Dr. Djoys Anneke Rantung, M.Th.
Ulangan 4:1–14 adalah bagian penting dari pidato Musa kepada bangsa Israel sebelum mereka memasuki Tanah Perjanjian. Di sini, Musa menasihati umat Israel agar senantiasa taat dan setia kepada hukum dan ketetapan yang telah diberikan Tuhan. Mereka diminta untuk menjadi bangsa yang berbeda – sebuah umat yang dikenal bukan karena kekuatan militernya, bukan karena kemewahan negerinya, tetapi karena kebijaksanaan dan pengertian mereka yang lahir dari ketaatan kepada firman Tuhan.
Saat itu, bangsa Israel sedang berada di perbatasan tanah Kanaan. Setelah melewati perjalanan panjang di padang gurun, mereka akan segera melihat penggenapan janji Tuhan. Namun Musa mengingatkan, bahaya terbesar mereka bukan hanya bangsa-bangsa lain di tanah itu, tetapi hati mereka sendiri yang bisa tergoda untuk melupakan Tuhan dan tidak setia kepada perintah-Nya.
Belajar dari Situasi Konflik Israel–Iran
Konflik antara Israel dan Iran bukan perang terbuka langsung secara terus-menerus, tetapi lebih sering berupa:
- Perang proxy (perang melalui pihak ketiga): Iran mendukung kelompok seperti Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Gaza, yang sering menyerang Israel.
- Serangan siber dan sabotase: Kedua negara terlibat dalam serangan siber yang canggih, menyerang infrastruktur penting satu sama lain.
- Ketegangan soal program nuklir: Israel sangat menentang pengembangan nuklir Iran, karena menganggapnya sebagai ancaman eksistensial.
- Serangan udara terbatas: Israel beberapa kali menyerang target Iran di Suriah, karena Iran dinilai berusaha membangun pangkalan militer di sana.
Konflik ini memiliki latar belakang ideologi, keamanan, dan politik regional, yang semakin rumit karena melibatkan kepentingan negara-negara besar.
Hubungan dengan Perspektif Alkitab
Alkitab tidak secara langsung menyebut Iran dan Israel di masa kini seperti yang kita pahami sekarang. Namun, Alkitab memang berbicara tentang:
- Bangsa Israel sebagai umat pilihan Tuhan (Kejadian 12:2–3; Roma 11:1–2).
- Bangsa-bangsa sekitar yang sering bermusuhan dengan Israel di Perjanjian Lama –
- Bangsa Israel pernah ditaklukkan oleh Babel (Kerajaan Babel) dan dibuang ke Babilonia, tetapi kemudian Kerajaan Babel dikalahkan oleh Persia (nama kuno Iran atau sekarang adalah Iran), tetapi Persia pernah juga menjadi alat Tuhan untuk memulihkan umat-Nya (lihat Kitab Ezra dan Nehemia, di mana Raja Koresh orang Persia mengizinkan pembangunan kembali Bait Allah).
- Kisah Ester yang diangkat menjadi ratu oleh raja Ahasyweros yakni Raja Persia
- Pemeliharaan Tuhan bagi umat-Nya
Tuhan memakai Ester – seorang yatim piatu dari bangsa yang saat itu sedang dalam pembuangan – untuk menjadi ratu, agar nantinya dapat menyelamatkan bangsa Israel dari rencana pembinasaan oleh Haman. - Ester perempuan yang berani dan penuh kasih menolak penindasan dan ketidakadilan
- Allah memakai mereka sebagai alat perdamaian dunia, lewat Ester, Ahasyweros dan kerajaan Persia, bangsa Israel dapat Kembali ke negeri mereka, bahkan membangun Bait Allah serta kota mereka yang hancur.
Hubungan dengan Makna Perdamaian Dunia
- Tuhan mengendalikan sejarah bangsa-bangsa.
- Dia dapat memakai siapa saja untuk menjadi alat perdamaian dan keselamatan.
- Kita dipanggil untuk berani bersaksi dan bertindak demi kebenaran dan keadilan, meski berada di tengah situasi sulit.
Dalam situasi-situasi ini, kita diingatkan:
- Bahwa dunia selalu punya potensi konflik karena dosa manusia.
- Namun sebagai orang percaya, kita menaruh pengharapan kita bukan pada kekuatan militer atau diplomasi semata, bukan karena kita merasa diri hebat dan pintar tetapi pada Tuhan yang memegang sejarah.
- Kita dipanggil hidup sebagai umat yang bijaksana, setia pada firman Tuhan, dan menjadi pembawa damai di mana pun kita berada.
Mari kita benar-benar renungkan apa makna “Jadilah Umat Yang Bijaksana dan Berakal Budi dengan Berpegang pada Perintah Tuhan” menurut Ulangan 4:1-14
Perintah Tuhan sebagai sumber hikmat, pengertian, kebijaksanaan dan berakal budi
Ayat 6 mengatakan:
“Lakukanlah itu dengan setia, sebab itulah yang akan menjadi kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa…”
Ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan sejati tidak datang hanya dari kepandaian manusia, tetapi dari ketaatankepada firman Tuhan. Bangsa Israel dimaksudkan menjadi kesaksian hidup, sehingga bangsa lain melihat kehebatan hukum Tuhan melalui kehidupan umat-Nya.
“Lakukanlah itu dengan setia, sebab itulah yang akan menjadi kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa…” (Ulangan 4:6, TB)
✨ Makna “bijaksana dan berakal budi” menurut Ulangan 4:1–14

Bijaksana (hikmat):
Dalam konteks ini, “bijaksana” (ḥokmâh dalam bahasa Ibrani) bukan hanya berarti pintar, cerdas, atau berpendidikan, tetapi:
- Kebijaksanaan yang lahir dari ketaatan kepada perintah Tuhan.
- Sikap hati yang takut akan Tuhan dan menjadikan firman-Nya sebagai standar hidup.
- Memahami tujuan dan kehendak Tuhan, lalu menerapkannya dalam keputusan sehari-hari.
Jadi, kebijaksanaan di sini tidak hanya soal pengetahuan, tapi soal kehidupan yang nyata dan praktis, yang mencerminkan kehendak Allah.
Berakal budi (pengertian):
Dalam bahasa Ibrani dipakai kata biynah, yang artinya:
- Kemampuan memahami, membedakan mana yang benar dan salah.
- Memiliki kepekaan rohani dalam bertindak.
- Mengerti “mengapa” Tuhan memberi ketetapan tertentu, sehingga tidak hanya taat secara buta, tapi mengerti maksudnya.
Makna teologis:
- Perintah Tuhan bukan sekadar aturan kaku: Tapi adalah jalan hidup yang mendatangkan berkat, keselamatan, dan kehidupan.
- Hikmat dan pengertian sejati bukan hasil usaha manusia saja, tetapi adalah hasil relasi yang dekat dengan Tuhan.
- Ketika Israel menaati perintah Tuhan, bangsa-bangsa lain akan berkata:
“Hanya bangsa ini yang bijaksana dan berakal budi!” (ay. 6).
Artinya, ketaatan umat menjadi kesaksian bagi dunia.
Jadi, Saudara-saudara
Perintah Tuhan itu TUJUANNYA untuk kehidupan, bukan untuk membunuh kehidupan
Dalam Ulangan 4:1, Musa berkata:
“Dengarlah… supaya kamu hidup…”
Artinya, ketetapan dan hukum Tuhan bukan diberikan untuk menjadi beban atau alat kita menindas atau merasa tertindas, tetapi sebagai jalan hidup agar umat hidup, mengalami damai, dan menjadi berkat.
Ketika orang hanya memegang aturan secara kaku tanpa memahami rohnya, maka firman Tuhan malah dijadikan senjata untuk menghakimi, memecah belah, bahkan menindas.
Padahal, roh hukum adalah kasih dan pemulihan (lihat Matius 22:37–40; Galatia 5:14).
🕊Contoh dalam konflik di gereja:
- Kadang ada perbedaan pendapat tentang liturgi, tradisi, kepemimpinan, atau hal-hal sekunder.
- Kadang-kadang kita salah menilai atau terlalu kaku dengan aturan dan tata gereja sehingga melupakan kasih, kesabaran, dan kerendahan hati.
- Hasilnya: muncul perpecahan, penghakiman, dan hilangnya kesaksian gereja di mata dunia.
Dalam konteks inilah, kebijaksanaan dan akal budi sangat diperlukan: bukan mengabaikan aturan, tetapi memahami bahwa aturan itu ada untuk menjaga kasih, ketertiban, dan kesaksian Kristus — bukan untuk memecah belah tubuh Kristus.
Teladan Yesus:
Yesus sendiri berkali-kali menegur orang Farisi yang:
- Sangat taat secara lahiriah pada hukum Taurat
- Tetapi mengabaikan keadilan, kasih, dan belas kasihan (Matius 23:23)
Contoh nyata: Mereka mempersalahkan Yesus karena menyembuhkan orang pada hari Sabat, padahal inti hukum Sabat adalah untuk memulihkan kehidupan.
Yesus mengingatkan:
“Hari Sabat diadakan untuk manusia, dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Markus 2:27)
Hikmat dan akal budi menuntun ke keseimbangan:
- Berpegang teguh pada firman Tuhan → agar kita tidak terseret kompromi dosa.
- Mengerti maksud kasih Tuhan dalam firman itu → supaya hukum menjadi jalan memulihkan, bukan melukai.
Itulah kebijaksanaan sejati:
Menjalankan aturan Tuhan bukan sebagai beban atau alat kuasa, tetapi sebagai sarana untuk membangun damai, kesatuan, dan keadilan.
Makna bagi kita sekarang:
- Dalam konflik gereja, hikmat Tuhan memanggil kita tidak hanya bertanya “apa aturan berkata?”, tetapi juga “apa yang dikehendaki Kristus — yaitu kasih, pemulihan, kesatuan?”
- Menghindari sikap legalistik yang mematikan roh kasih, sambil tetap berdiri teguh pada kebenaran firman.
- Menjadi saksi Kristus bukan hanya lewat argumentasi benar, tetapi lewat kerendahan hati, pengampunan, dan kasih.
Kebijaksanaan dan akal budi dari firman Tuhan bukanlah ketaatan yang kaku dan buta, tetapi ketaatan yang penuh kasih dan pengertian akan maksud Tuhan — untuk memulihkan dan menghidupkan, bukan memecah belah.
Inilah yang harus jadi pedoman dalam menghadapi perbedaan dan konflik di gereja: kebenaran yang dilaksanakan dengan kasih.

Sama halnya dengan Israel yang diperintahkan oleh Tuhan, kita harus:
- Menjadi umat yang berbeda:
Bukan karena kekuatan, kekayaan, atau teknologi, tetapi karena hidup kita selaras dengan kehendak Tuhan. - Belajar dan menghidupi firman:
Tidak cukup hanya membaca atau mendengar, tetapi menjadikannya pedoman setiap keputusan. - Hidup sebagai saksi di hadapan dunia:
Seperti Israel, gereja dan kita sebagai orang percaya terpanggil menjadi terang dan garam dunia (Matius 5:13–16), agar orang lain memuliakan Tuhan.
bijaksana dan berakal budi lahir dari ketaatan penuh kasih kepada firman Tuhan.
Ini bukan hanya soal kepintaran logika, tapi soal hidup yang:
- takut akan Tuhan,
- mau mendengar,
- dan rela menjalankan kehendak-Nya,
sehingga hidup kita menjadi kesaksian yang memuliakan Tuhan di tengah dunia.
Kebijaksanaan dan akal budi bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi demi kemanusiaan
- Berakar pada kasih kepada Allah dan sesama (Matius 22:37–39)
- Memuliakan Tuhan, bukan hanya menguntungkan diri sendiri
- Membela yang lemah dan tidak bersuara (Amsal 31:8–9; Mikha 6:8)
Menjadi saksi di tengah dunia yang krisis moral
Permasalahan kemanusiaan modern sering muncul bukan hanya karena teknologi atau ekonomi, tetapi karena krisis moral dan spiritual: keserakahan, kebencian, penindasan.
🕊Membawa perdamaian dan keadilan
Hikmat yang sejati selalu terkait dengan shalom (damai sejahtera) — bukan hanya tidak ada konflik, tetapi tatanan kehidupan yang adil, harmonis, dan memuliakan Tuhan.
Dalam konteks permasalahan kemanusiaan sekarang, umat Tuhan terpanggil:
- Menjadi penengah, bukan provokator
- Memulihkan relasi yang retak karena perbedaan suku, agama, ras, atau kepentingan
- Menjadi pembawa damai seperti Kristus (Matius 5:9)
Kebijaksanaan dan akal budi bukan hanya tentang menjadi “pintar” secara duniawi, tetapi:
- Ketaatan hidup yang memancarkan kasih, keadilan, dan kebenaran Tuhan
- Memampukan kita terlibat aktif menghadapi permasalahan kemanusiaan dengan hati yang digerakkan oleh kasih Kristus
- Menjadi kesaksian nyata bagi dunia yang haus akan keadilan dan damai sejahtera
Jadi, orang percaya yang bijaksana dan berakal budi bukan hanya tahu firman, tetapi hidup firman itu — dan menjadi berkat bagi kemanusiaan.
AMIN