
“DARI KAMPUNG MERANTAU: TETAP BERSATU, TETAP BERSAUDARA, MEMPERKUAT IMAN, MENGHIDUPI NILAI KEBERSAMAAN DAN MAPALUS” (KOLOSE 3:14-17)
JUDUL REFLEKSI:
“KASIH YANG MEMPERERAT: BERSAUDARA DI RANTAU, BERAKAR DI KASIH KRISTUS”
Ayat Tema:
“Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.” (Kolose 3:14)
Jumat, 27 Juni 2025
Oleh: Pdt. Dr. Djoys Anneke Rantung, M.Th.
Ilustrasi:
Suatu hari di Jakarta, seorang oma dari Molompar ikut ibadah rukun dan diminta bawa makanan khas kampung. Dia datang dengan penuh semangat dan bilang, “Ini deng rasa asli kampung: rica roa, panada, dan sambal bakasang, bukan sambal Jakarta yang manis-manis itu!”
Tapi ternyata, anak-anak muda yang lahir di Jakarta langsung kaget pas coba. Ada yang langsung minum es teh satu teko, ada yang diam sambil kipas-kipas mulut. Lalu satu anak muda nyeletuk, “Oma, ini sambal atau bahan bakar roket?” Semua tertawa.
Tapi si oma cuma senyum dan bilang: “Begitu juga torang pe kasih, nak… Harus ada rasa! Bukan datar, bukan hambar. Kadang pedas, tapi tulus. Kadang menyengat, tapi menyatukan. Kalau semua rasa sama, mo bosan torang. Tapi karena torang beda-beda, baru jadi enak itu persekutuan.”
Merayakan ulang tahun Rukun Molompar bukan sekadar nostalgia atau sukacita bersama. Ini adalah momen iman: untuk merenungkan perjalanan dari kampung ke tanah rantau, dari masa lalu ke masa depan, dari kebersamaan tradisional menuju tantangan zaman digital. Di sinilah kita merenungkan makna kasih sebagai ikatan pemersatu di tengah dunia yang makin terfragmentasi.
Konteks Kolose 3:14
Latar Belakang Surat Kolose:
Rasul Paulus menulis kepada jemaat Kolose, kota yang beragam secara budaya dan kepercayaan. Ia menasihati jemaat agar hidup dalam identitas baru sebagai umat pilihan Allah, mengarahkan mereka untuk mengenakan “pakaian rohani” seperti belas kasihan, kerendahan hati, kesabaran, dan yang terpenting — kasih.
Penekanan Ayat 14:
Kolose 3:14 menggarisbawahi kasih sebagai “pengikat”. Dalam bahasa Yunani, kata syndesmos berarti ikatan yang menghubungkan bagian-bagian menjadi satu kesatuan. Seperti tali pengikat yang membuat rangkaian tidak tercerai-berai, kasih adalah tali suci yang menyatukan kita dalam komunitas Kristen.
Kasih sebagai Pengikat
Rasul Paulus menyebut kasih sebagai “pengikat yang menyempurnakan.” Artinya, sebaik apa pun organisasi, sebesar apa pun dana rukun, jika tidak ada kasih, semua bisa pecah berantakan.
Dalam tubuh Kristus, kasih bukan aksesori — tapi fondasi. Bukan pelengkap, tapi perekat. Kata “kenakanlah”menunjukkan bahwa kasih itu pilihan sadar, setiap hari, seperti kita memilih pakaian yang akan kita pakai.
Rukun Molompar – Dari Kampung ke Rantau
Apa Arti Rukun Itu?
“Rukun” bukan sekadar organisasi sosial. Ini adalah representasi budaya, iman, dan keluarga dalam semangat Mapalus — gotong royong khas Minahasa. Di rantau, rukun menjadi rumah kedua, tempat kita pulang saat jauh dari kampung halaman.
Makna “Dari Kampung, Merantau”:
Merantau sering berarti perjuangan. Jauh dari keluarga, menghadapi tekanan hidup kota, budaya baru, dan tantangan dan masalah yang beragam. Tetapi komunitas rukun menghadirkan wajah kampung di tengah kota. Di sinilah kasih menjadi pengikat agar kita tidak tercerabut dari akar.

Tantangan Era Digital dan Media Sosial
1. Fragmentasi Sosial/ Kesepian di Tengah Koneksi
Media sosial memberi kita “koneksi,” tapi bukan selalu “relasi.” Kita punya ribuan teman di Facebook, tapi kehilangan kedekatan nyata. Rukun yang dulu saling menolong bisa terganti dengan grup WA yang penuh info, tapi tanpa interaksi hati.
Kita semua “online,” tapi banyak yang hatinya “offline.” Ada yang di grup WA rukun aktif kirim stiker lucu, tapi tak pernah datang saat ada yang sakit atau berduka.
2. Budaya Viralisme dan Polarisasi
Berita bohong, konflik politik, dan perpecahan gereja kerap diperparah oleh unggahan-unggahan yang tak bertanggung jawab. Bahkan dalam rukun, bisa ada gesekan hanya karena perbedaan komentar atau status.
3. Individualisme Digital
Kita jadi sibuk dengan “personal branding”, mengejar eksistensi, lupa menghidupi nilai kebersamaan dan kerendahan hati. Padahal, kasih sejati tidak mengejar kepentingan diri sendiri (1 Kor. 13:5).
Nilai-Nilai Kristen dan Budaya Mapalus
1. Tetap Bersatu
Persatuan bukan karena kesamaan karakter, tapi karena komitmen pada kasih. Di tengah perbedaan pekerjaan, latar belakang, dan pilihan hidup — kasihlah yang menyatukan.
2. Tetap Bersaudara
Rukun bukan sekadar organisasi, tapi komunitas iman. Di mana pun kita merantau, kita tetap warga surga (Filipi 3:20) dan saudara dalam Kristus. Saudara mungkin tak selalu sependapat, tapi tetap saling menopang.
3. Memperkuat Iman
Kebersamaan rukun bukan hanya dalam rekreasi dan pengumpulan dana, tetapi juga dalam membangun kerohanian: ibadah bersama, dukungan saat sakit, penghiburan saat berduka.
4. Menghidupi Kebersamaan dan Mapalus
Mapalus dalam konteks Kristen adalah perpanjangan tangan Allah. Kasih Allah diekspresikan melalui tindakan saling membantu, saling kunjung, bahkan saling koreksi dalam kasih. Mapalus adalah wujud Kasih dalam Tindakan
Mapalus itu bukan cuma kerja bakti. Itu adalah bentuk cinta konkret dalam budaya Minahasa. Di Alkitab, itu setara dengan agape — kasih yang memberi, bukan menuntut.
Ilustrasi
Ada seorang oma yang tetap ikut gotong royong rukun. dia bilang: “Saya tidak bisa angkat batu, tapi saya bisa doakan yang angkat batu.” Bahkan doa pun bisa jadi bagian dari Mapalus!
Implementasi Praktis

a. Perjumpaan Nyata Lebih Penting dari Percakapan Digital
Mari adakan pertemuan rutin, makan bersama, Ilustrasi Lucu dan Bermakna:
Pernah ada anggota rukun yang malas datang rapat. Tapi begitu dengar rapatnya di restoran all-you-can-eat, langsung hadir lebih cepat dari pengurus.
Mari kita pererat kerukunan ini dalam ibadah bersama. Teknologi boleh dipakai, tapi jangan menggantikan relasi sejati.
b. Jaga Ucapan dan Posting-an
Setiap kata yang ditulis di media sosial adalah kesaksian hidup kita. Jangan jadi batu sandungan. Ingat Kolose 4:6: “Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar.”
Kasih Adalah Investasi Kekal
Dunia digital cepat berubah. Tapi kasih yang ditanam hari ini akan jadi warisan untuk anak cucu kita. Mari hidup bukan untuk viral, tapi untuk berdampak.
c. Dukung Generasi Muda Rukun
Ajak anak-anak muda rukun untuk menjadi pelayan Tuhan. Bimbing mereka agar tidak sekadar jadi pengguna media, tapi pembawa damai dan kasih Kristus.
Peran Pemimpin Rukun
Pemimpin rukun adalah imam komunitas. Mereka bukan hanya pengatur acara, tapi gembala mini yang menjaga agar kasih tetap menjadi dasar segala hal.
Panggilan Iman di Era Digital
“Kasih adalah Revolusi.”
Di dunia yang cepat, dangkal, dan egois, kasih adalah pilihan radikal. Kasih tidak viral, tapi kasih berakar dan bertahan. Dalam rukun, mari jadi komunitas yang tidak hanya “ada” di media, tapi “hadir” secara nyata.

Ingat saudara-saudara
A.Dari Kampung Molompar, kita merantau dan bahkan anak cucu kita lahir di perantauan:
Torang jangan lupa:
1. 🏞️ Suasana Kampung yang Asri dan Religius
- Dikelilingi alam yang subur, sawah, bukit, dan udara sejuk — kampung Molompar menghadirkan ketenangan hidup.
- Warganya hidup dalam keseharian yang religius, dengan ibadah keluarga, partisipasi aktif dalam GMIM, dan hidup yang sederhana tapi penuh syukur.
2. 🤝 Semangat Mapalus Masih Kuat
- Tradisi tolong-menolong (Mapalus) bukan hanya ritual — tapi menjadi gaya hidup warga.
- Dari pesta kawin sampai panen, dari membangun rumah hingga saat berduka, warga saling menopang tanpa hitung untung-rugi.
3. 👵👴 Keakraban Keluarga dan Antar-Generasi
- Di Molompar, anak-anak masih hormat pada orang tua; semua orang serasa keluarga.
- Gaya hidup “baku jaga,” “baku kase,” dan “baku rasa” masih dijunjung tinggi. (ada kata garam, ada kata minyak kelapa? Mama kwa ada suruh minta sadiki…boleh mo rasa tu woku? Mo rasa mar bawa baskom
B. Apa yang Menarik dari Rukun Molompar di Perantauan:
1. 🧲 Ikatan Emosional yang Kuat Meski Jauh dari Kampung
- Di manapun warganya berada , Rukun Molompar tetap menjadi tali pengikat batin ke kampung halaman.
- Mereka tetap menyanyikan lagu-lagu Minahasa, makan masakan kampung, dan menjaga tutur bahasa yang khas.
2. 🫂 Kebersamaan dan Solidaritas yang Mengharukan
- Saat ada anggota yang sakit, mengalami duka, atau kesulitan keuangan, dukungan rukun sangat nyata.
Bukan hanya lewat uang, tapi juga doa, kehadiran, dan penghiburan rohani. - Banyak yang mengatakan: “Rukun Molompar di tanah rantau lebih dekat daripada keluarga yang tinggal jauh.”
3. 🎉 Kreatif dan Aktif dalam Perayaan dan Pelayanan
- Rukun Molompar di perantauan dikenal aktif membuat acara-acara kreatif: ibadah bersama, ulang tahun rukun, olahraga, lomba memasak, bahkan seminar rohani.
- Semua dilakukan dengan penuh sukacita, mencerminkan karakter warga Molompar yang suka bergembira, tapi tetap rohani.
4. 👩👧👦 Tempat Mendidik Generasi Muda tentang Akar Budaya dan Iman
- Di tengah modernisasi, Rukun Molompar menjadi tempat mewariskan nilai-nilai Molompar kepada anak-anak muda:
tentang kebersamaan, kasih, hormat kepada orang tua, dan nilai kekristenan yang membumi.
Kampung Molompar memberi akar, Rukun Molompar memberi sayap.
Di kampung, kita dibesarkan dengan kasih dan kebersamaan. Di perantauan, kita hidup bersama untuk menghidupi kembali nilai itu dalam bentuk nyata — saling menguatkan, saling melayani, saling mendoakan.
Kekuatan Rukun Molompar bukan pada nama atau struktur, tetapi pada kasih yang dijaga dan diwariskan. Inilah yang membuat Rukun Molompar menarik, menginspirasi, dan menjadi berkat — bukan hanya untuk anggotanya, tetapi juga bagi orang lain di sekitarnya.
Penutup:
Mari terus kenakan kasih —Kiranya Rukun Molompar menjadi terang di tanah rantau. Di manapun kita pergi, kita tetap satu kampung, satu tubuh, satu kasih di dalam Kristus.
- Jadilah seperti benang: tak terlihat di luar, tapi menyatukan kain kebersamaan.
“Orang bilang, kampung boleh jauh, tapi rasa batin tetap baku dapa. Hari ini torang baku dapa, baku sapa, baku rasa, karena Tuhan yang kase torang pengikat yang kuat – kasih yang menyempurnakan. Ini ulang tahun bukan sembarang acara, ini tanda bahwa Tuhan masih jaga torang, satu per satu. Jadi mari bersyukur, bersukacita, dan tetap jaga torang pe nilai: Mapalus, iman, persaudaraan, dan torang pe darah kampung yang penuh semangat hidup!”
AMIN…. TUHAN MEMBERKATI
CATATAN TAMBAHAN: CIRI KHAS KAMPUNG MOLOMPAR MINAHASA
Kampung Molompar, yang berada di wilayah Minahasa Tenggara (khususnya di Kecamatan Tombatu Timur, Sulawesi Utara), memiliki sejumlah ciri khas budaya, sosial, dan spiritual yang membedakannya dari kampung-kampung lain di Minahasa. Berikut adalah beberapa ciri khas utama dari Kampung Molompar:
1. Semangat Mapalus yang Sangat Kuat
Mapalus adalah sistem kerja sama dan tolong-menolong tradisional Minahasa, dan di Molompar, semangat ini tidak hanya hidup, tetapi menjadi roh sosial masyarakat.
- Warga Molompar dikenal suka membantu sesama tanpa pamrih: baik dalam panen, pembangunan rumah, pesta adat, hingga saat berduka.
- Mapalus di Molompar juga kerap dilakukan lintas agama dan lintas keluarga besar, memperlihatkan nilai kebersamaan yang tinggi.
2. Budaya Religius yang Kuat
- Molompar dikenal sebagai kampung yang taat beragama. Mayoritas penduduknya Kristen dan aktif dalam kegiatan gerejawi.
- Ibadah keluarga (doa malam), keterlibatan dalam kegiatan GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa), dan partisipasi dalam pelayanan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.
3. Kekerabatan yang Erat
- Hubungan kekerabatan di Molompar tidak hanya berdasarkan darah, tetapi juga didasarkan pada kebiasaan hidup bersama.
- Istilah seperti kita pe anak, kita pe mama, kita pe opa sering digunakan bahkan kepada non-keluarga dekat, menunjukkan nilai kekeluargaan luas.
4. Musik dan Seni Tradisional
- Molompar dikenal memiliki kelompok-kelompok musik kolintang dan paduan suara gereja yang aktif, bahkan hingga tingkat regional.
- Lagu-lagu berbahasa Tombulu atau Tonsea sering dinyanyikan dalam ibadah atau perayaan adat, menunjukkan cinta terhadap bahasa dan warisan lokal.
5. Ketahanan Perantau
- Banyak warga Molompar yang merantau ke berbagai kota di Indonesia (Jakarta, Manado, Bitung, Sorong, Kalimantan).
- Mereka dikenal sebagai pekerja keras, jujur, dan cepat beradaptasi, namun tetap menjaga identitas sebagai orang Molompar.
- Di perantauan, warga Molompar cenderung membentuk komunitas rukun (seperti Rukun Molompar Jakarta), tempat baku bantu dan baku dodoakan.
6. Pesta Adat dan Gotong Royong
- Pesta pernikahan, penguburan, dan syukuran rumah baru di Molompar sangat kental dengan budaya kolektif: semua orang turun tangan, tanpa harus diminta.
- Sistem pemberian bantuan (“sumbangan spontan”) dalam acara-acara keluarga masih lestari.
7. Kehidupan Pertanian dan Alam
- Kampung Molompar dikelilingi oleh sawah, kebun, dan perbukitan yang subur.
- Mayoritas penduduknya masih mengandalkan pertanian (beras, jagung, cengkeh, pala, dan sayuran) sebagai mata pencaharian.
- Nilai-nilai hidup sederhana dan dekat dengan alam masih kuat dipegang.
TANTANGAN YANG DIHADAPI MASYARAKAT MOLOMPOR YANG DAPAT MEMECAH BELAH PERSEKUTUAN?
Tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Molompar, baik yang tinggal di kampung maupun yang merantau, tidak lepas dari dinamika zaman modern, yang bisa menggerus nilai-nilai kebersamaan dan mengancam persekutuan yang selama ini kuat terjalin. Berikut adalah sejumlah tantangan nyata yang dapat memecah belah persekutuan masyarakat Molompar:
1. Konflik Antar-Kelompok atau Marga
Walaupun hubungan kekerabatan di Molompar sangat kuat, terkadang perbedaan pandangan dalam keluarga besar atau antar-marga bisa menimbulkan friksi.
- Perselisihan soal warisan, batas tanah, atau pesta keluarga bisa berkembang menjadi konflik yang memecah relasi.
- Ketika tidak segera didamaikan secara adat dan rohani, konflik kecil bisa berkembang menjadi “permusuhan halus.”
2. Persaingan Sosial dan Ekonomi
Di era modern, kesenjangan sosial antara warga yang “berhasil” secara materi dan mereka yang masih hidup sederhana bisa menimbulkan rasa iri, minder, bahkan gesekan.
- Ada kecenderungan untuk membandingkan: siapa yang rumahnya paling mewah, mobilnya paling baru, atau pestanya paling besar.
- Ini dapat menurunkan semangat mapalus karena bantuan tidak lagi tulus, tetapi penuh motif sosial.
3. Politik dan Pilkada
Pemilu atau pilkada sering menjadi momen rawan perpecahan, terutama ketika dukungan politik terbagi dalam satu kampung atau komunitas rukun di perantauan.
- Perbedaan pilihan bisa menyebabkan sikap saling curiga, tidak mau bekerja sama, bahkan terjadi “blok-blok diam-diam” dalam komunitas.
- Persekutuan jadi terganggu karena warga lebih mengedepankan fanatisme politik dibanding nilai kekeluargaan.
4. Pengaruh Media Sosial
Media sosial menjadi alat komunikasi sekaligus sumber salah paham yang sangat berbahaya jika tidak digunakan dengan bijak.
- Status yang menyinggung, unggahan sindiran, atau chat grup WA yang disalahartikan bisa memicu pertengkaran.
- Ada kasus di mana warga rukun saling blokir hanya karena berbeda komentar di Facebook.
5. Individualisme & Gaya Hidup Kota
Terutama bagi perantau, gaya hidup kota yang sibuk dan individualistik bisa membuat warga jarang terlibat dalam persekutuan rukun.
- Ada yang merasa tidak perlu lagi “bakumpul” karena merasa cukup dengan hidup pribadi dan pekerjaan.
- Akibatnya, persekutuan yang dulunya erat berubah jadi formalitas, hanya ramai saat ada bantuan atau musibah.
6. Perubahan Generasi Muda
Generasi muda Molompar mulai mengalami pergeseran nilai. Mereka tumbuh dengan budaya digital yang lebih cepat, instan, dan tidak terlalu terikat pada nilai adat.
- Banyak anak muda tidak lagi mengenal atau menghayati semangat Mapalus, atau malu mengakui asal-usul kampung.
- Jika tidak dijembatani, bisa timbul kesenjangan antara generasi tua dan muda dalam memahami arti kebersamaan.
7. Kurangnya Kepemimpinan yang Rohani
Ketika pemimpin adat, rukun, atau tokoh gereja tidak menjadi teladan dalam kasih, kejujuran, dan pelayanan, maka semangat persatuan bisa menurun.
- Pemimpin yang memihak, memicu gosip, atau mencari keuntungan pribadi dapat menghancurkan kepercayaan dan harmoni sosial.
Kesimpulan & Refleksi:
Kampung Molompar dikenal karena semangat Mapalus, kekuatan iman Kristen, hubungan kekerabatan yang hangat, serta ketekunan dalam merantau. Ini semua menjadikan Molompar sebagai simbol kebersamaan, kerja keras, dan kasih yang nyata—baik di kampung maupun di tanah rantau.
Persatuan bukan sesuatu yang otomatis — ia harus dijaga, dibangun, dan diperjuangkan. Tantangan-tantangan seperti perselisihan keluarga, politik, media sosial, dan gaya hidup modern bisa memecah belah komunitas Molompar jika tidak dilawan dengan semangat kasih, pengampunan, rendah hati, dan Mapalus rohani.